KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat TUHAN YANG MAHA ESA atas rahmat
dan anugrah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai jadwal yang di
inginkan. Dalam makalah ini penulis mengakat judul “Nilai-nilai Agama yang terkandung dalam Geguritan”.
Penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan lancar dan dapat
terselesaikan dengan baik karena berkat kerjasama yang baik dan bantuan dari
banyak pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, untuk itu saran-saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah yang selanjutnya,
dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Singaraja, 1 Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Masalah
2
Rumusan Masalah
3
Tujuan Penulisan Makalah
4
Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
1. Tentang Kesusastraan
2. Pengertian Geguritan
3.
Geguritan Sudamala
4.
Pupuh atau tembang yang digunakan
5.
Pada lingsa
BAB III Nilai-nilai
1. Nilai-nilai yang terkandung dalam Geguritan
Sudamala
BAB IV Penutup
1. Simpulan
2. Saran - saran
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sastra berasal dari
bahasa Sansakerta “shastra” yang artinya adalah "tulisan yang
mengandung intruksi" atau "pedoman".
(pada)
banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap
baris.
banyaknya baris dalam
tiap bait
Geguritan merupakan sastra kuno
yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama
pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena pada zamanya dibuat seorang
penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama. Didalam
geguritan banyak
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana Kesusastraan itu?
2. Bagaimana pengertian Geguritan?
3. Bagaimana Geguritan Sudamala itu?
4. Bagaimana pupuh atau tembang yang
digunakan dalam geguritan Sudamala?
5. Bagaimana nilai-nilai yang
terkandung dalam geguritan sudamala?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui apa itu Kesusastraan!
2. Mengetahui pengertian Geguritan!
3. Mengetahui Geguritan Sudamala itu!
4. Mengetahui pupuh atau tembang yang digunakan dalam
geguritan sudamala!
5. Mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam geguritan sudamala!
D.
Manfaat
Ada
pun manfaat dari makalah ini adalah
1.
Sebagai
alat komunikasi antara sastrawan dan masyarakat pembacanya.
2.
Karya sastra selalu berisi pemikiran, gagasan, kisahan,
dan amanat yang dikomunikasikan kepada pembaca.
3.
Untuk bisa mengapresiasikan sastra tersebut.
4.
Bisa memahami nilai-nilai pada geguritan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kesusastraan
Sastra berasal dari bahasa Sansakerta “shastra” yang artinya
adalah “tulisan yang mengandung intruksi” atau “pedoman”. Sastra dalam arti
khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan
perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan
sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang
lahir dari perasaan dan pemikirannya.
Ada tiga
hal yang berkaitan dengan pengertian sastra, yaitu ilmu sastra, teori sastra,
dan karya sastra.
a. Ilmu sastra adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki secara ilmiah
berdasarkan metode tertentu mengenai segala hal yang berhubungan dengan seni
sastra. Ilmu sastra sebagai salah satu aspek kegiatan sastra meliputi hal-hal
berikut. Teori sastra, yaitu cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang
asas-asas, hukum-hukum, prinsip dasar sastra, seperti struktur, sifat-sifat,
jenis-jenis, serta sistem sastra. Sejarah sastra, yaitu ilmu yang mempelajari
sastra sejak timbulnya hingga perkembangan yang terbaru. Kritik sastra, yaitu
ilmu yang mempelajari karya sastra dengan memberikan pertimbangan dan penilaian
terhadap karya sastra. Kritik sastra dikenal juga dengan nama telaah sastra. Filologi,
yaitu cabang ilmu sastra yang meneliti segi kebudayaan untuk mengenal tata
nilai, sikap hidup, dan semacamnya dari masyarakat yang memiliki karya sastra.
Keempat cabang ilmu tersebut tentunya mempunyai keterkaitan satu sama lain
dalam rangka memahami sastra secara keseluruhan.
b. Teori sastra adalah asas-asas dan prinsip-prinsip dasar mengenai
sastra dan kesusastraan.
c. Seni sastra adalah proses kreatif menciptakan karya seni dengan bahasa
yang baik, seperti puisi, cerpen/novel, atau drama.
Sastra bisa dibagi atas sastra lisan dan sastra
tertulis. Sastra lisan tidak berhubungan dengan tulisan,
tetapi lebih kepada ekspresi bahasa yang diungkapkan secara oral mengenai
pemikiran seseorang.
Kategori sastra di antaranya sebagai berikut :
·Cerpen atau cerita pendek, suatu bentuk prosa atau karangan yang
tak terikat yang dibuat tidak berdasarkan kejadian nyata atau fiktif dengan
hanya mengambil satu atau dua bagian kehidupan tokoh utamanya.
· Novel, karya fiksi prosa berbentuk naratif yang dalam Bahasa
Italia disebut novella, yang artinya sepotong berita atau sebuah cerita.
Novel lebih panjang dari cerpen, bisa sekitar 40.000 kata atau lebih dan jalan
ceritanya tentang kehidupan sehari-hari tokoh sentral dan menitikberatkan pada
sisi uniknya.
· Syair.
Drama, bentuk karya sastra yang dapat diperankan dalam suatu
pertunjukkan.
B.
Pengertian
Geguritan
Geguritan
merupakan sastra kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat
anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena pada
zamanya dibuat seorang penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap
milik bersama.
Geguritan berasal dari kata gurit yang
artinya tulisan, komposisi khususnya puisi. Anggurit artinya menulis sesuatu,
mengubah sesuatu (Mulder dan Robson, 1997:320). Dalam kamus bahasa Bali- Indonesia
(Warsito,1978:223), gurit artinya gubah, karang, sadur. Geguritan artinya
gubahan, saduran, karangan. dan dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan “geguritan itu
berasal dari kata gurit artinya sajak atau syair” (Poerwadarminta, 1986 :161).
sedangkan dalam Kamus Kawi Indonesia
diungkapkan “gurit artinya goresan, dituliskan” (Tim Penyusun, 1996:118). Jadi Geguritan
artinya gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh.
Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan
adalah adanya pupuh-pupuh
yang membentuk geguritan
tersebut seperti : pupuh pucung, durma, sinom, pangkur, smarandhana, dandang, ginada, dan demung. Oleh
karenanya di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan
membaca karya sastra yang tergolong prosa. Geguritan hendaknya dinikmati dengan
membaca sambil melagukan sehingga nikmat yang didapatkan semakin merasuk kalbu.
Karya sastra yang berwujud pupuh diikat oleh aturan yang disebut : pada lingsa, pada dan
carik. “syarat-syarat
yang biasa disebut pada
lingsa yaitu banyaknya baris
dalam tiap bait (pada)
banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap
baris”. Berdasarkan pemaparan di atas maka pengertian geguritan adalah
ciptaan sastra berbentuk syair yang biasanya dilagukan dengan tembang (pupuh)
yang sangat merdu.
Geguritan yang merupakan salah satu bentuk prosa Bali
yang terikat perpajakan pupuh, dalam khazanah sastra tradisional dikategorikan
sebagai sekar alit (bunga kecil). Sementara kakawin (karya sastra Jawa Kuna)
disebut sekar agung (bunga besar). Pengkategorian ini, kalau dicermati, di
dalamnya mengandung unsur menganggap gampang sebuah geguritan. geguritan
merupakan batu pijakan untuk memasuki sastra besar (sekar agung), yaitu
kakawin. Dengan kata lain, kakawin “lebih tinggi” dari geguritan. Cara berpikir
yang “meng-hirarki-kan” antara sekar agung dan sekar alit ini mirip dengan cara
berpikir barat “abad pertengahan” yang membagi budaya dalam dua mengkategorikan:
“budaya tinggi” dan “budaya rendah”. Di Bali, dengan cara yang sama, banyak orang
kalangan cenderung memandang bahwa kakawin atau sekar agung adalah budaya
tinggi, geguritan atau sekar alit adalah budaya rendah.
Di samping karena bahasanya adalah bahasa pribumi yaitu Bahasa Bali
(bukan bahasa import: Jawa Kuna), yang memungkinkan pengarang Bali berekspresi
secara maksimal, geguritan tampil dengan menyuguhkan berbagai pengalaman batin
manusia Bali dengan spektrum yang tak terbatas: Rasa lapar, suka-duka, merana cinta,
puji-puji, dongeng-dongeng, kehancuran perang, candu, zinah, kelaliman raja,
kebodohan raja, perselingkuhan, mitrologi, hantu dan berbagai makhluk dari alam
lain, tata ruang dan arsitekstur, masyarakat multikultur, dewa-dewi, ilmu
hitam-putih, etika, tata krama, kecerdasan dan kedunguan, dalil filsafat dan
kenaifan manusia, mantra dan kutukan, petuah-petuah dan umpatan. Tak ada satu
“ideology” yang menghegemoni geguritan.
Walaupun banyak geguritan merupakan carangan, karya yang lahir dari
resepsi pengarang terhadap ‘narasi besar’ Mahabarata dan Ramayana, geguritan
secara keseluruhan bergerak “menjauh” dari kungkungan narasi besar tersebut.
Geguritan adalah sebuah ruang pengungkapan kreatif yang liberal yang mampu
memberi alternatif dalam kebekuan bahasa Jawa Kuna dan metrum-metrum kakawin
yang ketat dengan berbagai aturannya. Geguritan lebih kuat menangkap “narasi
kecil” seperti cerita rakyat, dongeng, dan serba-serbi hidup yang melingkupi
kehidupan keseharian masyarakat Bali, dan juga “kegilaan” imajinasi
pengarangnya. Geguritan, dalam sejarah perkembangan bahasa Bali, memiliki
peranan strategis sebagai salah satu ruang yang memungkinkan bahasa Bali untuk berkembang setinggi-tingginya. Geguritan sebagai
warisan dunia, bukan hanya karena isi dan kandungan intrinsiknya, tetapi juga
karena sumbangan terbesarnya bagi sejarah bahasa-bahasa di dunia berupa
kemampuannya merekam secara tertulis kekayaan kosa kata bahasa Bali. Geguritan bukan hanya “file-file dunia imajinasi
manusia Bali”, tetapi juga “file-file kosa
kata”
C. Geguritan Sudamala
Geguritan Sudamala adalah sastra kuna yang memiliki ciri sastra lama atau
klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Sudamala
adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut
Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil "ngruwat" Bathari Durga yang
mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil
"ngruwat" Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama
Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang
bidadari di kayangan dengan nama betahari Uma. Makna dari Cerita sudamala ialah
yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil
"ngruwat". Sumandala yang diartikan Mendalami Kemurnian Nurani. Dalam Geguritan
Sudamala adapun penokohannya antara lain :
1.
Ida Batara Siwa karater yang tercemin dalam geguritan
sudamala beliau adalah suami dari Ida Betari Uma yang mengutuk isrtinya menjadi
Dewi Durga karena tidak setia kepadanya.
2.
Ida Betari Uma adalah istri dari Batara Siwa yang
sangat cantik dan di kutuk menjadi raksasa yang bernama Dewi Durga. Ida Betari
Durga atau Ida Ranini Durga yang bertempat di Setra.
3.
Pengango sampi adalah merupakan utusan dari Batara Siwa
4.
Sahadewa adalah Anak ke lima dari Panca Pandawa yang mempunyai
anugrah dari Hyang Tunggal yang akan melepaskan kutukan Ida Betari Durga
Menjadi Ida Betari Uma kembali.
5.
Sang kalika istri lan lanang adalah pengikut sekaligus
anak dari Betari Durga yang berupa raksasa merupakan Dua penghuni sorga
lainnya, yaitu Citrasena dan Citranggada juga dikutuk karena perbuatannya yang
kurang hormat kepada Bhatara Guru menjadi raksasa Kalantaka dan Kalanjaya.
Kedua raksasa ini mengabdi kepada Korawa. Pandawa berperang melawan kedua
raksasa sakti itu.
6.
Dewi Kunti adalah ibu dari Panca Pandawa yang meminta
tolong kepada Ranini Durga untuk mematikan I Kalantka lan I Kalnjaya karena memiliki kekuatan yang sakti.
D. Pupuh yang di gunakan
Karya sastra menurut
fungsinya dibedakan dalam bentuk puisi, prosa, dan roman. Geguritan Sudamala mempunyai ciri
bentuk puisi yang bersifat naratif dan masing-masing pupuh diikat oleh padalingsa,
yaitu banyaknya baris dalam tiap-tiap bait, banyaknya suku kata dalam tiap-tiap
baris dan bunyi akhir dalam tiap-tiap baris. Pupuh-pupuh yang membangun Geguritan
sudamala adalah:
1.
Sinom dasar 8. Sinom Payangan
2.
Sinom Siwaganti 9. Sinom Lawe
3.
Sinom Silir 10. Mas Kumambang
4.
Ginada Dasar 11. Ginada Bagus Semara
5.
Ginada Lingkar Petak 12. Ginada Jaya Prana
6.
Ginada Basur 13. Pupuh Durma
7.
Pupuh Pangkur
E. Pada Lingsa
Jenis Pupuh
|
Syarat-syarat Pada Lingsa
|
|||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
0
|
|
Sinom
|
8a
|
8i
|
8a
|
8i
|
8i
|
8u
|
8a
|
8i
|
4u
|
8a
|
Semarandana
|
8i
|
8a
|
8o
|
8a
|
8a
|
8u
|
8a
|
|||
Ginada
|
8a
|
8i
|
8a
|
8u
|
8a
|
4i
|
8a
|
|||
Ginanti
|
8u
|
8i
|
8a
|
8i
|
8a
|
8i
|
||||
Durma
|
12a
|
8i
|
6a
|
8a
|
8i
|
5a
|
7i
|
|||
Dangdang Gula
|
10i
|
10a
|
8e
|
7u
|
9i
|
7a
|
6u
|
8a
|
12i
|
7a
|
Mas Kumambang
|
4a
|
8i
|
6a
|
8i
|
8a
|
|||||
Mijil
|
10i
|
6o
|
10e
|
10i
|
6i
|
8u
|
||||
Pangkur
|
8a
|
11i
|
8u
|
7a
|
12u
|
8a
|
8i
|
|||
Pucung
|
4u
|
8u
|
6a
|
8i
|
4u
|
8a
|
||||
Adri
|
10u
|
6a
|
8i
|
8u
|
8e
|
8u
|
9a
|
8a
|
||
Jurudemung
|
8a
|
8u
|
8u
|
8a
|
8u
|
8a
|
8u
|
|||
Megatruh
|
12u
|
8i
|
8u
|
8i
|
8o
|
|||||
Gambuh
|
7u
|
10u
|
12i
|
8u
|
8o
|
|||||
Balabak
|
12a
|
3e
|
12a
|
3e
|
12a
|
3e
|
||||
Girisa
|
8a
|
8a
|
8a
|
8a
|
8a
|
8a
|
8a
|
8a
|
||
Wirangrong
|
8i
|
8o
|
10u
|
6i
|
7a
|
7a
|
Dalam Geguritan Sudamala ada beberapa kata-kata yang tidak
pas tetapi hal ini dipergunakan karena agar pupuh yang digunakan pas dengan
syarat-syarat pada lingsa. Ada
beberapa contohnya adalah :
1.
Pada kata “Sapuniku” sebenarnya adalah “Sapunika”.
2.
Pada kalimat di Pupuh Durma ada yang tidak sesuai
dengan persyaratan yaitu pada baris ke empat yang semestinya “8a” tetapi yang
digunakan adalah “8o”.
3.
Pada kalimat di Pupuh Ginada ada yang tidak sesuai
dengan persyaratan yaitu pada baris ke tujuh yang semestinya “8a” tetapi yang
digunakan adalah “8o,8e”.
4.
Pada kalimat di Pupuh Ginada ada yang tidak sesuai
dengan persyaratan yaitu pada baris ke pertama yang semestinya “8a” tetapi yang
digunakan adalah “8o”.
5.
Pada kalimat di Pupuh Durma ada yang tidak sesuai
dengan persyaratan yaitu pada baris ke tiga yang semestinya “6a” tetapi yang
digunakan adalah “6o”.
6.
Pada kalimat di Pupuh Pangkur ada yang tidak sesuai
dengan persyaratan yaitu pada baris ke tiga yang semestinya “8u” tetapi yang
digunakan adalah “8e”.
BAB III
NILAI-NILAI
A. Ketidak
jujuran
Dalam Geguritan Sudamala memiliki nilai ketidak jujuran
yang terdapat alam alunan pupuh
1.“Mas Kumambang” yang berbunyi “Inggih Ratu tityang wantah polih meli, Ditu
ring sekala, lawan anak ngangon sampi, Maring tengah alas wayah”. yang
memiliki nilai ketidak jujuran karena Betari Uma tidak mengatakan dengan sesungguhnya
dengan apa dia mendapatkan susu sapi putih itu.
B. Maduravacana
(ucapan yang baik dan ramah)
Dalam geguritan Sudamala memiliki nilai Maduravacana atau ucapan baik
yang terdapat dalam alunan pupuh :
1. Maskumambang yang berbunyi “ Prada durung adi molih tamban beli, Ikang lemah pada, Eda adi madep
beli, Basan beli resepang, Kapindone papet beli maring adi, oja nyasar kita,
Sapuniku papet beli, durus adi ne lumampah”. Dalam alunan ini memiliki
nilai Maduravacana atau ucapan yang baik dan ramah karena merupakan pesan Ida
Betara Siwa kepada Betari Uma pada saat akan pergi ke dunia sekala.
C. Akrodha
(mengendalikan emosi)
Dalam geguritan Sudamala memiliki nilai Akrodha atau mengendalikan emosi
yang terdapat dalam alunan pupuh :
- Pupuh Durma yang berbunyi “ Betari Uma dahat merang mamirengang, tur sumahur Ida menuding, Eh iba rare angon, Pongah baan iba ngucap, Kaden nira istri jalir, Kanehang Iba, sarat ngalih anak laki. Yaning iba nora pedas lawan nira, maka yuktin nira betari, Rabin Ida Betara Siwa, Kasub maring Siwaloka, Kalih Iba yan tan uning, Nira ngaran,Ida Betari Giri Putri”. Dalam alunan ini memiliki nilai Akrodha atau mengendalikan emosi karena Dewi Uma tidak bisa mengendalikan emosinya pada saat pengembala sapi itu meminta Dewi Uma menyerahkan dirinya.
D. Tyàga/Lascarya
(tulus ikhlas)
Dalam Geguritan Sudamala memiliki nilai Tyàga/Lascarya atau nilai tulus
iklas yang terdapat dalam alunan pupuh
1.
Pupuh Durma yang berbunyi “ singgih ratu durus aksi sembah tityang puniki, Tityang nunas pamin
mangkin , Uwus Ida matur semabah, Raris Ida ne limampah, Mabur lambah Ida
Betari, Ring Ambara, Nglawed genah ILembu putih.” Dalam alunan ini memiliki
nilai Tyàga/Lascarya atau tulus ikhlas karena Ida Bertaru Uma bersedia turun ke
sekala hanya untuk mencari obat agar suaminya sembuh tanpa memikirkan apa yang
akan terjadi di dunia sekala.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
sastra kuna yang memiliki ciri sastra lama atau klasik
yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Salah satu contoh satra
yang berupa geguritan yaitu geguritan sudamala.
Geguritan sudamala mencitakan kisah Sadewa telah berhasil
"ngruwat" Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena
perselingkuhannya. Geguritan Sudamala banyak memiliki nilai-nilai Agama Hindu
yang bisa dipetik dan diterapkan oleh pembaca geguritan sudamala.
B. Saran – saran
Geguritan dalam sejarah perkembangan bahasa Bali, geguritan memiliki
peranan strategis sebagai salah satu ruang yang memungkinkan bahasa Bali untuk berkembang setinggi-tingginya. Geguritan sebagai
warisan dunia, bukan hanya karena isi dan kandungan intrinsiknya, tetapi juga
karena sumbangan terbesarnya bagi sejarah bahasa-bahasa di dunia berupa
kemampuannya merekam secara tertulis kekayaan kosa kata bahasa Bali. Geguritan bukan hanya “file-file dunia imajinasi
manusia Bali”, tetapi juga “file-file kosa
kata”.
Oleh karena itu geguritan haruslah dijaga baik-baik agar geguritan tidak
punah karena banyak kita lihat dilapangan para generasi muda sekarang ini
sangat sedikit yang meminati geguritan padahal geguritan jika dinikmati dengan
membaca sambil melagukanya sehingga kenikmatan yang kita dapatkan dan merasakan
kedamaian atau ketenangan pada diri kita. Oleh karenanya di dalam menikmati geguritan dengan
membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra atau bacaan-bacaan
yang lainya.
Maka dari itu untuk mencegah agar geguritan tidak punah, geguritan kita
tanamkan sejak dini misalnya kita berikan mata pelajaran pada siswa-siswi didik
kita, agar geguritan di bali tetap ajeg dan lestari. Begitu juga banyak
nilai-nilai yang dapat di petik dan diterapkan untuk membentuk mental generasi
muda kini.
Daftar Pusataka
_______, 2005. Kesusastraan
Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Prov Bali.
_______,____.
Geguritan Sudamala.______:Wisnu Santi Grafika.
http://wayang.wordpress.com/2010/03/07/banjaran-pandawa-7-kidung-sudamala/.php
http://wayang.wordpress.com/2010/03/07/banjaran-pandawa-7-kidung-sudamala/.php
0 komentar: