Selamat Datang - Semoga Bermanfaat (^_^)

4.14.2012

Nilai-Nilai Geguritan Sudamal


KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat TUHAN YANG MAHA ESA atas rahmat dan anugrah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai jadwal yang di inginkan. Dalam makalah ini penulis mengakat judul “Nilai-nilai Agama yang terkandung dalam Geguritan”.
Penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan lancar dan dapat terselesaikan dengan baik karena berkat kerjasama yang baik dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran-saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah yang selanjutnya, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.



      Singaraja, 1 Desember 2010
                                                                                                                         
                                                                                                       Penulis






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I  PENDAHULUAN
1        Latar Belakang Masalah
2        Rumusan Masalah
3        Tujuan Penulisan Makalah
4        Manfaat

BAB II   PEMBAHASAN
1.      Tentang Kesusastraan
2.      Pengertian Geguritan
3.      Geguritan Sudamala
4.      Pupuh atau tembang yang digunakan
5.      Pada lingsa

BAB III  Nilai-nilai
1.      Nilai-nilai yang terkandung dalam Geguritan Sudamala

BAB IV Penutup
1.      Simpulan
2.      Saran - saran

    Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
      Sastra berasal dari bahasa Sansakerta “shastra” yang artinya adalah "tulisan yang mengandung intruksi" atau "pedoman". Secara morfologis kata kesusastraan, yang lebih sering hanya disebut sastra, dapat diuraikan atas konfiks ke-an yang berarti 'semua yang berkaitan dengan, prefiks su 'baik, indah, berguna' dan bentuk dasar sastra yang berarti “kata, tulisan, ilmu”. Jadi, menurut uraian di atas kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Sedang menurut arti istilah, kesusastraan atau sastra ialah cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai medium. Umumnya dikatakan bahwa keindahan atau nilai estetis suatu cipta sastra timbul karena adanya keserasian, kesepadanan, atau keharmonisan antara isi (topik, amanat) dengan bentuk ( cara pengung kapan isi ).
Dalam Kesusatraan Bali ada beberapa bentuk sastra salah satunya adalah tembang. Bentuk tembang di bali disebut sekar, dan sekar dibagi menjadi empat yaitu Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madia, dan Sekar Agung.
Di dalam Sekar Alit (Macepat/Pupuh) dibentuk dan diikat oleh aturan Pada Lingsa. Pada Lingsa adalah banyaknya baris dalam tiap bait (pada) banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap baris.  Bentuk nyanyian yang ada di Sekar Alit berupa Pupuh dan biasanya pupuh ini terdapat dalam cerita yang di Bali sering orang menyebutkan sebagai Geguritan atau Peparikan.
      Geguritan merupakan sastra kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena pada zamanya dibuat seorang penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama. Didalam geguritan banyak nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang bisa di petik oleh orang-orang sebagai tuntunan moral. Gegruritan merupakan komposisi sebuah puisi, geguritan merupaka suatu ciptaan sastra yang menampung semua kisah dari seorang penulisnya.
       
B.         Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana Kesusastraan itu?
2.      Bagaimana pengertian Geguritan?
3.      Bagaimana Geguritan Sudamala itu?
4.      Bagaimana pupuh atau tembang yang digunakan dalam geguritan Sudamala?
5.      Bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam geguritan sudamala?
C.        Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1.      Mengetahui apa itu Kesusastraan!
2.      Mengetahui pengertian Geguritan!
3.      Mengetahui Geguritan Sudamala itu!
4.      Mengetahui pupuh atau tembang yang digunakan dalam geguritan sudamala!
5.      Mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam geguritan sudamala!
D.        Manfaat
        Ada pun manfaat dari makalah ini adalah
1.      Sebagai alat komunikasi antara sastrawan dan masyarakat pembacanya.
2.      Karya sastra selalu berisi pemikiran, gagasan, kisahan, dan amanat yang dikomunikasikan kepada pembaca.
3.      Untuk bisa mengapresiasikan sastra tersebut.
4.      Bisa memahami nilai-nilai pada geguritan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kesusastraan
Sastra berasal dari bahasa Sansakerta “shastra” yang artinya adalah “tulisan yang mengandung intruksi” atau “pedoman”. Sastra dalam arti khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya. Secara morfologis kata kesusastraan, yang lebih sering hanya disebut sastra, dapat diuraikan atas konfiks ke-an yang berarti “semua yang berkaitan dengan, prefiks su 'baik, indah, berguna'” dan bentuk dasar sastra yang berarti “kata, tulisan, ilmu”. Jadi, menurut uraian di atas kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Sedang menurut arti istilah, kesusastraan atau sastra ialah cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai medium. Umumnya dikatakan bahwa keindahan atau nilai estetis suatu cipta sastra timbul karena adanya keserasian, kesepadanan, atau keharmonisan antara isi  topik, amanat dengan bentuk cara pengung kapan isi .
Ada tiga hal yang berkaitan dengan pengertian sastra, yaitu ilmu sastra, teori sastra, dan karya sastra.
a. Ilmu sastra adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki secara ilmiah berdasarkan metode tertentu mengenai segala hal yang berhubungan dengan seni sastra. Ilmu sastra sebagai salah satu aspek kegiatan sastra meliputi hal-hal berikut. Teori sastra, yaitu cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang asas-asas, hukum-hukum, prinsip dasar sastra, seperti struktur, sifat-sifat, jenis-jenis, serta sistem sastra. Sejarah sastra, yaitu ilmu yang mempelajari sastra sejak timbulnya hingga perkembangan yang terbaru. Kritik sastra, yaitu ilmu yang mempelajari karya sastra dengan memberikan pertimbangan dan penilaian terhadap karya sastra. Kritik sastra dikenal juga dengan nama telaah sastra. Filologi, yaitu cabang ilmu sastra yang meneliti segi kebudayaan untuk mengenal tata nilai, sikap hidup, dan semacamnya dari masyarakat yang memiliki karya sastra. Keempat cabang ilmu tersebut tentunya mempunyai keterkaitan satu sama lain dalam rangka memahami sastra secara keseluruhan.
b. Teori sastra adalah asas-asas dan prinsip-prinsip dasar mengenai sastra dan kesusastraan.
c. Seni sastra adalah proses kreatif menciptakan karya seni dengan bahasa yang baik, seperti puisi, cerpen/novel, atau drama.
Sastra bisa dibagi atas sastra lisan dan sastra tertulis. Sastra lisan tidak berhubungan dengan tulisan, tetapi lebih kepada ekspresi bahasa yang diungkapkan secara oral mengenai pemikiran seseorang.
Kategori sastra di antaranya sebagai berikut :
·Cerpen atau cerita pendek, suatu bentuk prosa atau karangan yang tak terikat yang dibuat tidak berdasarkan kejadian nyata atau fiktif dengan hanya mengambil satu atau dua bagian kehidupan tokoh utamanya.
· Novel, karya fiksi prosa berbentuk naratif yang dalam Bahasa Italia disebut novella, yang artinya sepotong berita atau sebuah cerita. Novel lebih panjang dari cerpen, bisa sekitar 40.000 kata atau lebih dan jalan ceritanya tentang kehidupan sehari-hari tokoh sentral dan menitikberatkan pada sisi uniknya.
·  Syair.
·  Pantun, jenis puisi lama yang terdapat sampiran dan isi di dalamnya.
·  Drama, bentuk karya sastra yang dapat diperankan dalam suatu pertunjukkan.
Dalam Kesusatraan Bali ada beberapa bentuk sastra salah satunya adalah tembang. Bentuk tembang di bali disebut sekar, dan sekar dibagi menjadi empat yaitu Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madia, dan Sekar Agung.
B.     Pengertian Geguritan
      Geguritan merupakan sastra kuno yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena pada zamanya dibuat seorang penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama.
      Geguritan berasal dari kata gurit yang artinya tulisan, komposisi khususnya puisi. Anggurit artinya menulis sesuatu, mengubah sesuatu (Mulder dan Robson, 1997:320). Dalam kamus bahasa Bali- Indonesia (Warsito,1978:223), gurit artinya gubah, karang, sadur. Geguritan artinya gubahan, saduran, karangan. dan dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan “geguritan itu berasal dari kata gurit artinya sajak atau syair” (Poerwadarminta, 1986 :161). sedangkan dalam Kamus Kawi Indonesia diungkapkan “gurit artinya goresan, dituliskan” (Tim Penyusun, 1996:118). Jadi Geguritan artinya gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh.
      Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan adalah adanya pupuh-pupuh yang membentuk geguritan tersebut seperti : pupuh pucung, durma, sinom, pangkur, smarandhana, dandang, ginada, dan demung. Oleh karenanya di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra yang tergolong prosa. Geguritan hendaknya dinikmati dengan membaca sambil melagukan sehingga nikmat yang didapatkan semakin merasuk kalbu. Karya sastra yang berwujud pupuh diikat oleh aturan yang disebut : pada lingsa, pada dan carik. “syarat-syarat yang biasa disebut pada lingsa  yaitu banyaknya baris dalam tiap bait (pada) banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap baris”. Berdasarkan pemaparan di atas maka pengertian geguritan adalah ciptaan sastra berbentuk syair yang biasanya dilagukan dengan tembang (pupuh) yang sangat merdu.
Geguritan yang merupakan salah satu bentuk prosa Bali yang terikat perpajakan pupuh, dalam khazanah sastra tradisional dikategorikan sebagai sekar alit (bunga kecil). Sementara kakawin (karya sastra Jawa Kuna) disebut sekar agung (bunga besar). Pengkategorian ini, kalau dicermati, di dalamnya mengandung unsur menganggap gampang sebuah geguritan. geguritan merupakan batu pijakan untuk memasuki sastra besar (sekar agung), yaitu kakawin. Dengan kata lain, kakawin “lebih tinggi” dari geguritan. Cara berpikir yang “meng-hirarki-kan” antara sekar agung dan sekar alit ini mirip dengan cara berpikir barat “abad pertengahan” yang membagi budaya dalam dua mengkategorikan: “budaya tinggi” dan “budaya rendah”. Di Bali, dengan cara yang sama, banyak orang kalangan cenderung memandang bahwa kakawin atau sekar agung adalah budaya tinggi, geguritan atau sekar alit adalah budaya rendah.
Di samping karena bahasanya adalah bahasa pribumi yaitu Bahasa Bali (bukan bahasa import: Jawa Kuna), yang memungkinkan pengarang Bali berekspresi secara maksimal, geguritan tampil dengan menyuguhkan berbagai pengalaman batin manusia Bali dengan spektrum yang tak terbatas: Rasa lapar, suka-duka, merana cinta, puji-puji, dongeng-dongeng, kehancuran perang, candu, zinah, kelaliman raja, kebodohan raja, perselingkuhan, mitrologi, hantu dan berbagai makhluk dari alam lain, tata ruang dan arsitekstur, masyarakat multikultur, dewa-dewi, ilmu hitam-putih, etika, tata krama, kecerdasan dan kedunguan, dalil filsafat dan kenaifan manusia, mantra dan kutukan, petuah-petuah dan umpatan. Tak ada satu “ideology” yang menghegemoni geguritan.
Walaupun banyak geguritan merupakan carangan, karya yang lahir dari resepsi pengarang terhadap ‘narasi besar’ Mahabarata dan Ramayana, geguritan secara keseluruhan bergerak “menjauh” dari kungkungan narasi besar tersebut. Geguritan adalah sebuah ruang pengungkapan kreatif yang liberal yang mampu memberi alternatif dalam kebekuan bahasa Jawa Kuna dan metrum-metrum kakawin yang ketat dengan berbagai aturannya. Geguritan lebih kuat menangkap “narasi kecil” seperti cerita rakyat, dongeng, dan serba-serbi hidup yang melingkupi kehidupan keseharian masyarakat Bali, dan juga “kegilaan” imajinasi pengarangnya. Geguritan, dalam sejarah perkembangan bahasa Bali, memiliki peranan strategis sebagai salah satu ruang yang memungkinkan bahasa Bali untuk berkembang setinggi-tingginya. Geguritan sebagai warisan dunia, bukan hanya karena isi dan kandungan intrinsiknya, tetapi juga karena sumbangan terbesarnya bagi sejarah bahasa-bahasa di dunia berupa kemampuannya merekam secara tertulis kekayaan kosa kata bahasa Bali. Geguritan bukan hanya “file-file dunia imajinasi manusia Bali”, tetapi juga “file-file kosa kata”

C.    Geguritan Sudamala
Geguritan Sudamala adalah sastra kuna yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil "ngruwat" Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil "ngruwat" Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari di kayangan dengan nama betahari Uma. Makna dari Cerita sudamala ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil "ngruwat". Sumandala yang diartikan  Mendalami Kemurnian Nurani. Dalam Geguritan Sudamala adapun penokohannya antara lain :
1.      Ida Batara Siwa karater yang tercemin dalam geguritan sudamala beliau adalah suami dari Ida Betari Uma yang mengutuk isrtinya menjadi Dewi Durga karena tidak setia kepadanya.
2.      Ida Betari Uma adalah istri dari Batara Siwa yang sangat cantik dan di kutuk menjadi raksasa yang bernama Dewi Durga. Ida Betari Durga atau Ida Ranini Durga yang bertempat di Setra.
3.      Pengango sampi adalah merupakan utusan dari Batara Siwa
4.      Sahadewa adalah Anak ke lima dari Panca Pandawa yang mempunyai anugrah dari Hyang Tunggal yang akan melepaskan kutukan Ida Betari Durga Menjadi Ida Betari Uma kembali.
5.      Sang kalika istri lan lanang adalah pengikut sekaligus anak dari Betari Durga yang berupa raksasa merupakan Dua penghuni sorga lainnya, yaitu Citrasena dan Citranggada juga dikutuk karena perbuatannya yang kurang hormat kepada Bhatara Guru menjadi raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Kedua raksasa ini mengabdi kepada Korawa. Pandawa berperang melawan kedua raksasa sakti itu.
6.      Dewi Kunti adalah ibu dari Panca Pandawa yang meminta tolong kepada Ranini Durga untuk mematikan I Kalantka lan I  Kalnjaya karena memiliki kekuatan yang sakti.

D.    Pupuh yang di gunakan
Karya sastra menurut fungsinya dibedakan dalam bentuk puisi, prosa, dan roman. Geguritan Sudamala mempunyai ciri bentuk puisi yang bersifat naratif dan masing-masing pupuh diikat oleh padalingsa, yaitu banyaknya baris dalam tiap-tiap bait, banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris dan bunyi akhir dalam tiap-tiap baris. Pupuh-pupuh yang membangun Geguritan sudamala adalah:
1.      Sinom dasar                            8.   Sinom Payangan
2.      Sinom Siwaganti                     9.   Sinom Lawe
3.      Sinom Silir                              10. Mas Kumambang
4.      Ginada Dasar                          11. Ginada Bagus Semara
5.      Ginada Lingkar Petak             12. Ginada Jaya Prana
6.      Ginada Basur                          13. Pupuh Durma
7.      Pupuh Pangkur

E.     Pada Lingsa

Jenis Pupuh
Syarat-syarat Pada Lingsa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
Sinom
8a
8i
8a
8i
8i
8u
8a
8i
4u
8a
Semarandana
8i
8a
8o
8a
8a
8u
8a



Ginada
8a
8i
8a
8u
8a
4i
8a



Ginanti
8u
8i
8a
8i
8a
8i




Durma
12a
8i
6a
8a
8i
5a
7i



Dangdang Gula
10i
10a
8e
7u
9i
7a
6u
8a
12i
7a
Mas Kumambang
4a
8i
6a
8i
8a





Mijil
10i
6o
10e
10i
6i
8u




Pangkur
8a
11i
8u
7a
12u
8a
8i



Pucung
4u
8u
6a
8i
4u
8a




Adri
10u
6a
8i
8u
8e
8u
9a
8a


Jurudemung
8a
8u
8u
8a
8u
8a
8u



Megatruh
12u
8i
8u
8i
8o





Gambuh
7u
10u
12i
8u
8o





Balabak
12a
3e
12a
3e
12a
3e




Girisa
8a
8a
8a
8a
8a
8a
8a
8a


Wirangrong
8i
8o
10u
6i
7a
7a





Dalam Geguritan Sudamala ada beberapa kata-kata yang tidak pas tetapi hal ini dipergunakan karena agar pupuh yang digunakan pas dengan syarat-syarat pada lingsa. Ada beberapa contohnya adalah :
1.      Pada kata “Sapuniku” sebenarnya adalah “Sapunika”.
2.      Pada kalimat di Pupuh Durma ada yang tidak sesuai dengan persyaratan yaitu pada baris ke empat yang semestinya “8a” tetapi yang digunakan adalah “8o”.
3.      Pada kalimat di Pupuh Ginada ada yang tidak sesuai dengan persyaratan yaitu pada baris ke tujuh yang semestinya “8a” tetapi yang digunakan adalah “8o,8e”.
4.      Pada kalimat di Pupuh Ginada ada yang tidak sesuai dengan persyaratan yaitu pada baris ke pertama yang semestinya “8a” tetapi yang digunakan adalah “8o”.
5.      Pada kalimat di Pupuh Durma ada yang tidak sesuai dengan persyaratan yaitu pada baris ke tiga yang semestinya “6a” tetapi yang digunakan adalah “6o”.
6.      Pada kalimat di Pupuh Pangkur ada yang tidak sesuai dengan persyaratan yaitu pada baris ke tiga yang semestinya “8u” tetapi yang digunakan adalah “8e”.


BAB III
NILAI-NILAI

A.    Ketidak jujuran
Dalam Geguritan Sudamala memiliki nilai ketidak jujuran yang terdapat alam alunan pupuh
1.“Mas Kumambang” yang berbunyi “Inggih Ratu tityang wantah polih meli, Ditu ring sekala, lawan anak ngangon sampi, Maring tengah alas wayah”. yang memiliki nilai ketidak jujuran karena Betari Uma tidak mengatakan dengan sesungguhnya dengan apa dia mendapatkan susu sapi putih itu.
B.      Maduravacana (ucapan yang baik dan ramah)
Dalam geguritan Sudamala memiliki nilai Maduravacana atau ucapan baik yang terdapat dalam alunan pupuh :
1. Maskumambang yang berbunyi “ Prada durung adi molih tamban beli, Ikang lemah pada, Eda adi madep beli, Basan beli resepang, Kapindone papet beli maring adi, oja nyasar kita, Sapuniku papet beli, durus adi ne lumampah”. Dalam alunan ini memiliki nilai Maduravacana atau ucapan yang baik dan ramah karena merupakan pesan Ida Betara Siwa kepada Betari Uma pada saat akan pergi ke dunia sekala.
C.     Akrodha (mengendalikan emosi)
Dalam geguritan Sudamala memiliki nilai Akrodha atau mengendalikan emosi yang terdapat dalam alunan pupuh :
  1. Pupuh Durma yang berbunyi “ Betari Uma dahat merang  mamirengang, tur sumahur Ida menuding, Eh iba rare angon, Pongah baan iba ngucap, Kaden nira istri jalir, Kanehang Iba, sarat ngalih anak laki. Yaning iba nora pedas lawan nira, maka yuktin nira betari, Rabin Ida Betara Siwa, Kasub maring Siwaloka, Kalih Iba yan tan uning, Nira ngaran,Ida Betari Giri Putri”. Dalam alunan ini memiliki nilai Akrodha atau mengendalikan emosi karena Dewi Uma tidak bisa mengendalikan emosinya pada saat pengembala sapi itu meminta Dewi Uma menyerahkan dirinya.
D.    Tyàga/Lascarya (tulus ikhlas)
Dalam Geguritan Sudamala memiliki nilai Tyàga/Lascarya atau nilai tulus iklas yang terdapat dalam alunan pupuh
1.      Pupuh Durma yang berbunyi “ singgih ratu durus aksi sembah tityang puniki, Tityang nunas pamin mangkin , Uwus Ida matur semabah, Raris Ida ne limampah, Mabur lambah Ida Betari, Ring Ambara, Nglawed genah ILembu putih.” Dalam alunan ini memiliki nilai Tyàga/Lascarya atau tulus ikhlas karena Ida Bertaru Uma bersedia turun ke sekala hanya untuk mencari obat agar suaminya sembuh tanpa memikirkan apa yang akan terjadi di dunia sekala.

BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Bentuk sastra salah satunya adalah tembang. Bentuk tembang di bali disebut sekar, dan sekar dibagi menjadi empat yaitu Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madia, dan Sekar Agung. Pada sekar alit dibentuk oleh pupuh, di Bali sastra yang mengunakan pupuh atau sekar alit adalah geguritan atau peparikan. Geguritan adalah sastra kuna yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Salah satu contoh satra yang berupa geguritan yaitu geguritan sudamala.
Geguritan sudamala mencitakan kisah Sadewa telah berhasil "ngruwat" Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Geguritan Sudamala banyak memiliki nilai-nilai Agama Hindu yang bisa dipetik dan diterapkan oleh pembaca geguritan sudamala.
B.     Saran – saran
Geguritan dalam sejarah perkembangan bahasa Bali, geguritan memiliki peranan strategis sebagai salah satu ruang yang memungkinkan bahasa Bali untuk berkembang setinggi-tingginya. Geguritan sebagai warisan dunia, bukan hanya karena isi dan kandungan intrinsiknya, tetapi juga karena sumbangan terbesarnya bagi sejarah bahasa-bahasa di dunia berupa kemampuannya merekam secara tertulis kekayaan kosa kata bahasa Bali. Geguritan bukan hanya “file-file dunia imajinasi manusia Bali”, tetapi juga “file-file kosa kata”.
Oleh karena itu geguritan haruslah dijaga baik-baik agar geguritan tidak punah karena banyak kita lihat dilapangan para generasi muda sekarang ini sangat sedikit yang meminati geguritan padahal geguritan jika dinikmati dengan membaca sambil melagukanya sehingga kenikmatan yang kita dapatkan dan merasakan kedamaian atau ketenangan pada diri kita. Oleh karenanya di dalam menikmati geguritan dengan membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra atau bacaan-bacaan yang lainya.
Maka dari itu untuk mencegah agar geguritan tidak punah, geguritan kita tanamkan sejak dini misalnya kita berikan mata pelajaran pada siswa-siswi didik kita, agar geguritan di bali tetap ajeg dan lestari. Begitu juga banyak nilai-nilai yang dapat di petik dan diterapkan untuk membentuk mental generasi muda kini.

Daftar Pusataka

_______, 2005. Kesusastraan Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Prov Bali.






















0 komentar: