KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat TUHAN YANG MAHA ESA atas rahmat
dan anugrah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan artikel ini sesuai jadwal yang di
inginkan. Dalam artikel ini penulis mengakat judul “Perspektif
Model Kepemimpinan Hindu dalam Masyarakat Bali”.
Penyusunan artikel ini dapat berjalan dengan lancar dan dapat
terselesaikan dengan baik karena berkat kerjasama yang baik dan bantuan dari
banyak pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, untuk itu saran-saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah yang
selanjutnya, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Singaraja, 29 Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Masalah
2
Rumusan Masalah
3
Tujuan Penulisan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
1. Perspektif Model Kepemimpinan Hindu
dalam Masyarakat Bali
BAB III Penutup
1. Simpulan
2. Saran-saran
Sumber
BAB I
Pendahuluan
- Latar Belakang
Ketermpilan berbahasa dibagi menjadi empat yaitu
keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca,
kererampilan menulis. Keterampilan menyimak merupakan hal yang sangat utama
diantara keterampilan bahasa lainnya. Keterampilan menyimak memiliki beragam
menyimak diantaranya Menyimak Eksensif, Menyimak intensif, Menyimak kritis, Menyimak kreatif, Menyimak
konsentratif, Menyimak ekplorasi,
Menimak pasif, menyimak selektif.
Salah satu menyimak yang paling baik adalah
menyimak kritis yaitu jenis kegiatan mendengarkan dimana dalam prosesnya
memerlukan ketelitian, kecermatan yang tajam untuk mendapatkan suatu pesan,
ide, maupun simpulan tertentu dari apa yang disimak, dengan kata lain terlibat
multipengindraan. Tapi biasanya seseorang bulum tentu bisa menerapkan menyimak
kritis ini, biasanya yang sering terjadi penyimak mengalami menyimak pasif,
menyimak selektif dan banyak lagi ragamnya.
Ada beberapa hal faktor yang berpengaruh
dalam kegiatan menyimak untuk menerapkan menyimak kritis itu yaitu faktor fisik dan faktor kejiwaan. faktor yang sering
ditemukan pada saat kegiatan menyimak
adalah faktor fisik, yang diantaranya adalah situasi fisik dan
lingkungan fisik. Untuk menerapkan kegiatan menyimak kritis itu haruslah sering
berkonsentrasi dan berlatih.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah :
a. Bagaimana hasil kegiatan menyimak kristis
di lapangan.
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
a. Mengetahui apa kita bisa menerapkan cara menyimak kritis dengan
baik!
BAB II
PEMBAHASAN
Perspektif Model Kepemimpinan
Hindu dalam Masyarakat Bali
Menurut Made Sukarta,Spd. ketua dadia pasek
gegel yang mengutip ucapan Ida Cokorda Ngurah dari Puri Saren Kauh Ubud adalah
seorang bangsawan kaya dari keluarga Ksatriya. Beliau adalah seorang serba
bisa, ahli sastra, terutama sastra Kawi, pengarang, pemahat, pembuat patung,
pengukir, dan seorang arsitek tradisional bali. Beliau menyelesaikan penyusunan
KGM pada tanggal 10 November 1958. Dari 67 wirama, pupuh atau bait KGM beliau
mengajukan 10 butir ajaran kepemimpinan yang rupanya beliau petik dari berbagai
sumber sastra Kawi yang dijadikan sebagai referensinya.
Sesungguhnya sebagai seorang seniman, dari
keluarga raja, maka merupakan kewajiban untuk membaca karya sastra Kawi atau
Jawa Kuno yang di dalamnya sangat kaya dengan berbagai ajaran. Dari
khasanah karyasastra Kawi atau naskah yang tersimpan di Bali, telah banyak
dilakukan pengelompokan, di antaranya oleh Kadjeng (1929), Pigeaud (1967), dan
terakhir oleh I Wayan Cika (2006:4) sebagai berikut:
(1) Arsitektur
yang terdiri dari: Hasta Kosala, Hasta Kosali, Hastabhumi, Dharmaning Sangging;
(2) Lelampahan (lakon atau cerita yang
dipentaskan);
(3) Kesusastraan seperti: Parwa, Kakawin,
Kidung, Gaguritan, dan Parikan;
(4) Usada (pengobatan);
(5) Sejarah & Mitologi seperti Babad,
Pamancangah, Usana, Uwug;
(6) Agama & Etika seperti Weda, Mantra,
Puja, Kalpasastra, Tutur, Sasana, dan Niti.
Penyair KGM rupanya telah membaca semua referensi
dalam naskah-naskah Bali di atas, hal itu
tampak mengkristal dalam 10 butir ajaran kepemimpinan dalam KGM. Walaupun
ajaran tersebut sangat ideal, namun Gajah Mada juga melakukan strategi atau
taktik politik yang licik, yakni melakukan penipuan, baik terhadap raja
Majapahit yang menghubungkan bahaya kelaparan di Majapahit akibat perbuatan
raja Bali. Demikian pula ia telah menipu Kebo Wawira dan Pasung Rigis. Dalam
khasanah sastra Bali memang terdapat adigium
musuh wenang linyokin (musuh dapat ditipu atau dibohongi), hal ini tentunya
mengurangi kredibilitas kepemimpinan yang dilakukan oleh Gajah Mada.
Pembagian wilayah serta menempatkan penguasa
dengan sistem Majapahit di Bali tentunya merubah tatanan sistem kepemimpinan
kelogial yang dikenal dengan sistem Maulu-Apad yang umumnya berlaku di Bali
pegunungan, yang tampaknya sangat demokratis, karena setiap orang bila
melakukan swadharmanya dengan benar, pada saatnya ia akan duduk sebagai seorang
pemimpin dalam komunitasnya. Sistem ini rupanya merupakan kelanjutan sistem
yang diterapkan pada zaman Bali Kuno yang dikenal sebagai ajaran Mpu Raja Krita
yang menjabat Senapati I Kuturan, yang kemudian lebih populer dengan sebutan
Mpu Kuturan. Warisan monumental beliau adalah adanya sistem pamarajan, banjar,
kahyangan tiga, dan subak. Sistem inilah yang ditengarai mampu membentengi Bali dari berbagai perubahan akibat perkembangan
kehidupan, sampai era globalisasi dewasa ini.
Ajaran kepemimpinan dalam KGM rupanya tidak
jauh bila dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali. Karena model kepemimpinan Hindu yang dituangkan
dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu telah dituangkan dalam khasanah karya
sastra Kawi atau Jawa Kuno dan hal ini merupakan sumber utama ajaran atau model
kepemimpinan Hindu di Bali.
Konsep atau ajaran kepemimpinan tidaklah hanya
berguna bagi pemimpin atau calon pemimpin, tetapi berguna bagi setiap orang
termasuk pula menjadi anggota yang dipimpin. Dengan mengerti kepemimpinan kita
memahami bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat demikian pula bagaimana
seharusnya seorang anggota patuh pada pemimpinnya.
Sebenarnya ajaran kepemimpinan Hindu,
khususnya di Bali telah memasyarakat, di antaranya ajaran Catur Guru Bhakti,
yakni berbakti kepada empat jenis guru yang terdiri dari:
1) Guru
Rupaka atau Guru Rekha, yakni orang tua, ibu bapak.
2) Guru
Pangadyayan atau Pangajian, yakni para guru yang memberikan pendidikan.
3) Guru Wisesa,
yakni pemerintah yang memberikan perlindungan dan kemakmuran masyarakat
4) Guru Svadhyaya,
yakni Tuhan Yang Maha Esa sebagai guru tertinggi (Paramestiguru).
Dengan memahami dan patuh keempat guru
tersebut di atas sebenarnya setiap umat Hindu telah melaksanakan ajaran
kepemimpinan. Demikian pula di rumah atau di luar pendidikan sekolah, di
sekolah dan bahkan kepada pemerintahpun, seorang anak atau anggota masyarakat
dituntut untuk patuh kepada empat guru tersebut di atas. Persoalannya
lebih jauh apakah ajaran atau konsep kepemimpinan Hindu hanya terbatas pada
ajaran Catur Guru Bhakti itu? Ataukah ada ajaran-ajaran kepemimpinan lainnya
yang perlu digali dan apakah ajaran Agama Hindu mampu mengantisipasi
perkembangan masyarakat dalam era globalisasi dengan kecenderungan material
oriented-nya. Bagaimana fungsi-fungsi kepemimpinan Hindu itu sebenanya dan
apakah seseorang menjadi pemimpin itu karena dilahirkan atau karena diciptakan
dan lain-lain permasalahan yang patut kita kaji dalam kesempatan terbatas
ini.
Ajaran atau konsep kepemimpinan (leadership)
dalam Hindu dikenal dengan istilah adhipatyam atau nayakatvam. Kata adhipatyam
berasal dari adhipati sedang nayakatvam dari kata nayaka, kedua kata dari kosa
kata bahasa Sanskerta ini berarti pemimpin. Untuk memahami konsep kepemimpinan,
tipologi, fungsi dan asal-usulnya, pada kesempatan yang terbatas ini penyusun
mencoba mengkaji dari sumber pustaka yang ada terutama dari sumber primer yakni
kitab suci Veda dan susastra (pustaka) Hindu lainnya seperti Ramayana,
Mahabharata dan sebagainya.
Di samping kata adhipati dan nayaka yang
berarti pemimpin terdapat juga beberapa istilah atau sebutan untuk seorang
pemimpin, yaitu raja, maharaja, prabhu, ksatriya, svamin, isvara dan
natha. Di samping istilah-istilah tersebut di Indonesia kita kenal istilah ratu
atau datu, sang wibhuh, murdhaning jagat dan sebagainya yang mempunyai arti
yang sama dengan kata pemimpin namun secara terminlogis terdapat beberapa
perbedaan.
Di dalam ajaran Agama Hindu terdapat
nilai-nilai kepemimpinan yang universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu,
karena itu selalu relevan dengan perkembangan masyarakat. Nilai-nilai
kepemimpinan dalam ajaran Agama Hindu lebih dari sekedar sumber filsafat, etik
dan moral, tetapi juga nilai-nilai spiritual yang luhur untuk mencapai
tujuan tertinggi berupa kebahagiaan lahir dan batin.
Nilai-nilai atau konsep-konsep kepemimpinan
Hindu dapat dijumpai dalam kitab suci Veda, Arthasastra, Dharmasastra termasuk
pula dalam kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata dan kitab-kitab
Purana seperti Agni Purana, Vayu Purana dan lain-lain.
Di dalam kitab suci Veda kita jumpai beberapa
mantra yang menyangkut ajaran kepemimpinan antara lain :
1) Seorang pemimpin berasal dari warga negara
(Yajurveda XX.9).
2) Warga negara yang
merupakan satu kesatuan dalam berbangsa adalah anggota badan seorang
pemimpin (Yajurveda XX.8)
3) Seorang pemimpin
melindungi warganya tanpa menyakiti mereka (Yajurveda XIII.30).
4) Kami memilih seorang pemimpin untuk
memperoleh makanan dan mengentaskan kemiskinan dan kesejahtraan yang berlimpah
(Yajurveda X.21).
5) Seorang pemimpin
atas rakhmatnya melindungi masyarakatnya (Yajurveda XXX.5).
6) Seorang pemimpin
tidak pernah sedih, ia senantiasa berbuat jujur (Rigveda V.34.7)
7) Seorang pemimpin membuat kita sejahtra dan
melindungi cendekiawannya (Rigveda I.54.11).
8) Marilah kita semua
orang dari segala penjuru mendatangi pemimpin untuk melenyapkan semua
penderitaan (Yajurveda VI.36).
9) Semogalah
masyarakat memperoleh kesejahtraan/kebahagiaan karena pemimpinnya (Yajurveda
XI.28).
10) Wahai pemimpin!
Usahakanlah semua wargamu berbahagia, berikan kesejahtraan dan tolonglah mereka
(Sàmaveda,971)
11) Wahai Pemimpin!
Datangilah masyarakat dan bebaskanlah mereka dari penderitaan (Samaveda, 753).
12) Kami semua patuh dan taat kepada semua peraturan pemimpin/pemerintah (Rigveda VIII.25.16).
13) Semua golongan
dalam masyarakat memuji pemimpinnya atas perhatiannya yang baik terhadap
kesejahtraan warganya (Rigveda V.37.4).
14) Wahai Pemimpin!
Bertindaklah untuk kesejahtraan masyarakatmu dan keabadian namamu (Atharvaveda XIII.1.34).
Selanjutnya di dalam Arthasastra karya maharsi
Kautilya atau Chanakya (VI.1.2-6) dinyatakan enam sifat atau disiplin hidup
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu :
1) Abhigamika,
seorang pemimpin dapat menarik simpati rakyatnya, karena itu ia harus
berorientasi ke bawah, mengutamakan kepentingan rakyat banyak.
2) Prajña, seorang pemimpin hendaknya
cerdas, arif dan bijaksana, menguasai ilmu pengetahuan dan seni kepemimpinan
serta memiliki daya analisa yang tajam dengan pandangan yang jauh ke depan.
3) Utsaha, seorang pemimpin hendaknya mampu
mengambil inisiatif, oleh karena itu ia harus aktif, innovatif dan menjadi
pelopor dalam mengembangkan kreativitas masyarakat untuk maju.
4) Atmasampad, seorang pemimpin hendaknya
memiliki integritas pribadi, memiliki moral yang luhur, segala tingkah lakunya
terpuji dan patut menjadi teladan masyarakat.
5) Sakhyasamanta,
seorang pemimpin mampu mengawasi bawahannya, dengan demikian segala
kebijaksanaan yang telah ditetapkan dapat terlaksana secara berdaya guna dan
berhasil guna sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan.
6) Aksudraparisakta,
seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk memadukan pendapat yang saling
berbeda dalam suatu permusyawaratan. Pemimpin seharusnya menguasai teknik dan
seni mempertemukan pendapat-pendapat yang saling berbeda. Kepandaian pemimpin
dalam berdiplomasi ini akan mengantarkan sukses kepemimpinannya.
Masih banyak ajaran kepemimpinan dapat
kita jumpai dalam kitab suci Veda maupun Arthasastra yang tidak
terungkapkan pada kesempatan ini. Di samping kitab suci Veda dan Arthasastra
dalam kitab-kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan kitab-kitab Purana.
Dalam Ramayana, ajaran Sri Rama sangat dipuji oleh maharsi Walmiki. Pada bagian
manggala dari kakawin itu diuraikan bagaimana kepemimpinan Sri Rama yang sangat
termashur dan relevan untuk dipelajari dan dikembangkan dewasa ini. demikian
pula ajaran kepemimpinan dalam Mahabharata ke XIII, yakni kitab Anusasanaparva,
hampir seluruh buku mengajarkan ajaran kepemimpinan Hindu yang sangat ideal
merupakan wejangan dari maharsi Bhisma, ketika menunggu ajal di atas tempat
tidur dari anak panah. Ajaran kepemimpinan yang diwejangkan kepada Dharmawangsa
itu juga sangat relevan dan patut untuk dijadikan pedoman oleh para pemimpin.
Membahas model kepemimpinan tidak dapat
dilepaskan dengan tipologi kepemimpinan, kepemimpinan Hindu menyangkut ajaran
moral yang tentunya nampak seperti adanya dua kutub yang berlawan atau seperti
warna hitam-putih, benar-salah, baik dan buruk, walaupun dalam kenyataannya
tidak ada seorang manusia atau pemimpin yang benar-benar seratus persen baik
atau sebaliknya. Secara psikologis sifat manusia, seperti di sebutkan dalam
kitab suci Bhagavadgita bahwa manusia memiliki dua kecenderungan atau sifat,
yaitu :
1) Daiwi Sampat, sifat
kedewataan (Madhawa), yakni segala sifat yang baik, jujur, benar, terpuji
dan sejeninya.
2)
Asuri Sampat, sifat keraksasaan (Danawa), yakni segala sifat yang buruk,
kasar, rakus tidak jujur, serakah dan yang sejenisnya.
Atas dasar dua sifat atau kecendrungan manusia
(Manawa) seperti tersebut di atas, maka kepemimpinan Hindu tentunya mengikuti
tipologi kecenderungan manusia, yaitu tipologi kepemimpinan Hindu yang ideal
digambarkan sebagai kepemimpinan para dewa (Daiwi Sampat) di bawah maharsi
agung Wrihaspati yang bulat, utuh, demokratis dan mengabdi untuk kepentingan
masyarakat dan kemanusiaan, tegaknya agama, moral dan hukum serta
berusaha tiada hentinya untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat (Perhatikan
nasehat Sri Rama kepada adiknya Bharata dalam Kakawin Ramayana berbahasa Jawa
Kuno). Sebaliknya tipologi kepemimpinan Hindu yang tidak patut dicontoh dan
seharusnya ditinggalkan oleh seorang pemimpin adalah kepemimpinan yang sangat
dipengaruhi oleh sifat atau kecendrungan Asuri Sampat, yaitu rakus,
diktator, otoriter tidak memperhatikan kepentingan masyarakat dan rakyat di
bawah pimpinannya.
Bila kita mengkaji nama-nama atau istilah
secara terminologis, semantik atau etimologis kita sebenarnya sudah mendapatkan
gambaran tentang fungsi-fungsi kepemimpinan itu, misalnya kata raja, dari urat
kata raj yang artinya menggerakkan. Maharaja artinya pemimpin besar yang mampu
menggerakkan (massa).
Prabhu artinya yang terkemuka, memimpin, membimbing atau yang paling berani
mengambil tanggung jawab bagi anggotanya. Ksatriya atau rajanya artinya yang
melindungi atau memberikan perlindungan. Svamin menjadi kata suami dalam bahasa
Indonesia artinya yang mempimpin, tuan (master, lord) atau yang menguasai
dirinya sendiri. Isvara artinya yang tertinggi, yang paling menonjol atau yang
paling berkuasa, natha artinya yang melindungi atau memberikan perlindungan.
Ratu dan datu artinya hampir sama dengan kata raja sedang murdhaning jagat,
artinya tampuk pimpinan dari masyarakat.
Berdasarkan tinjauan terminologis, etimolis
dan semantik serta berdasar kutipan-kutipan terjemahan mantra Veda dan
terjemahan sloka-sloka kitab Arthasastra maka dapat dirumuskan
fungsi-fungsi kepemimpinan dalam Hindu atas dua jenis fungsi, yaitu:
1) Melindungi masyarakat, memberikan rasa aman,
bertanggung jawab serta memberikan bimbingan kepada warganya untuk turut
mewujudkan rasa aman dan tentram dikalangan mereka (fungsi security).
2) Mewujudkan kemakmuran bersama-sama anggota
masyarakat untuk mewujudkan kesejahtraan, kemakmuran dan melepaskan pederitaan
masyarakat lahir dan batin (fungsi prosperity).
Kepemimpinan yang berlandaskan ajaran Agama
Hindu tentunya dapat mengaktualisasikan ajaran Agama Hindu. Untuk itu
fungsi-fungsi agama bagi kehidupan manusia harus disadari dan dipahami oleh
seorang pemimpin, sebab membahas kepemimpinan Hindu tidak dapat melepaskan diri
untuk tidak mengkaji ajaran Agama Hindu. Dalam hubungannya dengan
kehidupan manusia, agama dan juga pemimpin atau kepemimpinan mempunyai
fungsi-fungsi sebagai berikut :
1) Sebagai
factor motivatif, mendorong, mendasari, melandasi cita-cita dan amal perbuatan
manusia dalam seluruh aspek kehidupannya.
2) Sebagai faktor kreatif, produktif dan
innovatif, mendorong dan mengharuskan untuk tidak hanya melakukan kerja
produktif saja, tetapi juga kreatif dan innovatif.
3) Sebagai faktor integratif, memadukan segenap
aktivitas manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam
berbagai bidang kehidupan. Keyakinan dan penghayatan terhadap ajaran agama akan
menghindarkan manusia dari situasi dan kepribadiannya yang pecah. Dengan
keutuhan kepribadiannya itu manusia akan mampu menghadapi berbagai macam
tantangan dan resiko kehidupan.
4) Sebagai faktor sublimatif atau
transformatif, mampu mengubah sikap dan prilaku, perkataan maupun perbuatan
sesuai sesuai dengan ajaran agama.
5) Sebagai faktor inspiratif, memberikan
inspirasi bagi pengembangan seni dan budaya yang dijiwai oleh Agama Hindu.
Tentunya fungsi-fungsi kepemimpinan itu akan
lebih kompleks bila dikaitkan dengan berbagai jenis atau tipologi kepemimpinan
yang bersifat spesifik. Di dalam kitab suci Veda diamanatkan bahwa seorang
pemimpin bagaikan Dewa Indra dan Soma (Rigveda II.16.2, VII.104.3), seorang
pemimpin bagaikan Dewa Agni (Yajurveda XIII.1, XII.7) yang kemudian di dalam
kitab Manawadharmasastra (IX.303-311) dikembangkan menjadi delapan dewa yang
memasuki tubuh seorang pemimpin, yaitu dewa-dewa penjaga alam, yakni Dewa Soma
(Candra), Dewa Agni, Dewa Surya, Dewa Wayu, Dewa Kuwera, Dewa Indra, dan Dewa
Yama. Fungsi atau sifat dari delapan dewa-dewa ini kemudian di dalam Kakawin
Ramayana dikenal dengan ajaran kepemimpinan Astabrata seperti telah
disebutkan di atas.
Lebih jauh, asal-usul seorang pemimpin
sebenarnya telah ditegaskan dalam kitab suci Veda (Yajurveda XX.9) yang secara
jelas menyatakan bahwa seorang pemimpin berasal dari warga negara atau rakyat.
Tentunya yang dimaksudkan oleh kitab suci ini adalah benar-benar memiliki
kualifikasi atau kemampuan seseorang. Hal ini adalah sejalan dengan bakat dan
kemampuan atau profesi seseorang yang dalam bahasa Sanskerta disebut dengan
warna. Kata warna dari urat kata wri yang artinya pilihan bakat dari seseorang.
Bila bakat kepemimpinannya yang menonjol dan mampu memimpin sebuah organisasi
dengan baik disebut ksatriya, karena kata ksatriya artinya yang memberi
perlindungan. Demikian pula yang memiliki kecerdasan yang tinggi, senang terjun
di bidang spiritual, ia adalah seorang brahmana. Demikian pula profesi-profesi
masyarakat seperti pedagang, petani, nelayan dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka seorang
dapat menjadi pemimpin disebabkan oleh beberapa hal :
1)
Karena memiliki bakat sejak kanak-kanak sudah menonjol sifat dan prilaku
kepemimpinannya. Ketika dewasa otomatis dia akan menjadi seorang pemimpin yang
handal. Bila seseorang karena direkayasa untuk menjadi pemimpin dan tidak
berdasarkan bakat dan kemampuannya, maka walaupun ia dipaksakan menjadi seorang
pemimpin, kepemimpinannya akan kelihatan lembek, melempem, loyo dan tidak memiliki
aktivitas apapun.
2) Seorang
pemimpin muncul di samping karena bakat, situasi tertentu juga memaksakan
kelahiran seorang pemimpin. Pemimpim yang demikian akan sukses bila ia memiliki
bakat dan kemampuan untuk itu. Dengan kecerdasan yang dimiliki serta
mengembangkan sikap ingin terus belajar, maka pemimpin yang mendapat kesempatan
untuk memimpin akan selalu berhasil membimbing warganya
Keberhasilan seseorang pemimpin disebabkan
karena ia memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai tantangan,
mengingatkan kepada ceritra Ganesa ketika baru bertempur ke medan perang. Justru semakin dipukul oleh
musuhnya tubuh Ganesa semakin besar dan kuat dan akhirnya patahan taringnya
sendiri mampu mengatasi berbagai rintangan
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan hasil menyimak
ceramah tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Ajaran kepemimpinan
dalam KGM rupanya tidak jauh bila dikaji dari perspektif model kepemimpinan
Hindu dalam masyarakat Bali karena model kepemimpinan Hindu yang dituangkan dalam
kitab suci Veda dan susastra Hindu telah dituangkan dalam khasanah karya sastra
Kawi atau Jawa Kuno dan hal ini merupakan sumber utama ajaran atau model
kepemimpinan Hindu di Bali.
Ajaran atau konsep
kepemimpinan (leadership) dalam Hindu dikenal dengan istilah adhipatyam atau
nayakatvam. Kata adhipatyam berasal dari adhipati sedang nayakatvam dari kata
nayaka, kedua kata dari kosa kata bahasa Sanskerta ini berarti pemimpin. Untuk
memahami konsep kepemimpinan, tipologi, fungsi dan asal-usulnya, pada kesempatan
yang terbatas ini penyusun mencoba mengkaji dari sumber pustaka yang ada
terutama dari sumber primer yakni kitab suci Veda dan susastra (pustaka) Hindu
lainnya seperti Ramayana, Mahabharata dan sebagainya.
Di dalam ajaran Agama
Hindu terdapat nilai-nilai kepemimpinan yang universal, tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu, karena itu selalu relevan dengan perkembangan masyarakat.
Nilai-nilai kepemimpinan dalam ajaran Agama Hindu lebih dari sekedar sumber
filsafat, etik dan moral, tetapi juga nilai-nilai spiritual yang luhur
untuk mencapai tujuan tertinggi berupa kebahagiaan lahir dan batin.
Nilai-nilai atau konsep-konsep kepemimpinan
Hindu dapat dijumpai dalam kitab suci Veda, Arthasastra, Dharmasastra termasuk
pula dalam kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata dan kitab-kitab
Purana seperti Agni Purana, Vayu Purana dan lain-lain.
B. Saran – saran
Dalam menyimak sesuatu haruslah
meyimak dengan kritis jangan menyimak setengah- setengah karena semua yang di
sampaikan oleh narasumber biasanya merupakan hal yang sangat penting bagi kita.
Untuk
bisa melakukan aktifitas meyimak dengan
kretis hal ini haruslah dilatih sesering mungkin. Hal yang dilakukan adalah
sering mendengarkan apa yang dikatakan oleh narasumber haruslah di dengarkan
dengan baik, usahakan menghindari sepuluh kebiasaan jelek menyimak dan
fator-faktor yang mempengaruhi aktifitas menyimak.
C.
Sumber