Selamat Datang - Semoga Bermanfaat (^_^)

12.14.2012

Aksara Pha (Pa kapal)


Pa Kapal
Aksara bali
Huruf Latin: Pa
Last  : Pha
Fonem: [pʰ]
Code Bali Simar: 8
Warga aksara : osthya
Gempelan:

Pa kapal adalah salah satu huruf dalam aksara bali yang termasuk ke dalam warga Osthya (konsonan dwibibir/labial),dan merupakan bagian yang sama dengan aksara
Pa
Pa
PhaPha
Pa kapal
BaBa
Ba
BhaBha
Ba kembang
MaMa
Ma
Pa Kapal dibaca seperti huruf "p" yang disusul oleh hembusan /ha/. Bila Pa kapal dialihaksarakan dari aksara Bali menjadi huruf Latin, maka ditulis "pha". Pa kapal juga termasuk ke dalam aksara mahaprana, karena bila dibaca maka hembusannya harus jelas terdengar.

Bentuk

Pa kapal dalam aksara Bali mirip dengan Pa murda dalam aksara Jawa. Bentuk Pa kapal persis dengan bentuk angka 8 dalam aksara Bali, di mana dalam aksara Jawa juga terjadi hal yang sama. Jika menulis angka 8 dan Pa kapal bersamaan dalam sebuah kalimat, maka angka 8 harus diawali dan diakhiri dengan tanda carik siki (atau dengan carik kalih, jika di akhir kalimat). Dengan demikian, huruf dan angka dapat dibedakan.

Fonem

Pa kapal melambangkan bunyi /pʰa/, yaitu bunyi /p/ yang disusul oleh hembusan /ha/. Meskipun Pa kapal diucapkan /pʰa/, namun kini dalam percakapan berbahasa Bali sehari-hari, perbedaan antara bunyi /pʰa/ dan /pa/ hampir tak terdengar dan disamakan pengucapannya. Bunyi /pʰa/ berbeda dengan bunyi /f/ dan /v/, meskipun ketiganya merupakan konsonan labial. /pʰa/ adalah bunyi aspirasi dari /p/, sedangkan /f/ adalah konsonan frikatif labiodental tak bersuara dan /v/ adalah konsonan frikatif labiodental bersuara. Jadi, Pha tidak sama dengan Fa, apalagi Va

Penggunaan

Pa kapal biasanya digunakan saat menulis kata-kata yang mengandung bunyi "Pha". Biasanya, kata-kata tersebut jarang terdapat pada kosakata bahasa Bali asli, melainkan pada kosakata bahasa Bali yang diserap dari bahasa non-Bali (misalnya bahasa Sanskerta maupun bahasa Jawa Kuna). Contoh beberapa kata serapan (dalam bahasa Bali) yang menggunakan Pa kapal, yaitu: pala (dari bahasa Sanskerta: phala); repa (dari bahasa Sanskerta: raipha); palguna (dari bahasa Sanskerta: phalguṇa). Huruf Latin "p" pada kata-kata tersebut patut diganti dengan Pa kapal apabila disalin menjadi aksara Bali.

Petunjuk!
  • Isi Artikel ini sebagian menggunakan aksara bali yaitu font Bali Simbar. Agar dapat mengunggah artikel ini  secara utuh, ada dapat menginstal font bali simbar.
  • Untuk anda yang belum mempunyai font Bali simbar dapat di download font di babad bali.com atau pada tabel di bawah.
  • Untuk pengistalan & penggunaan Bali Simbar yang sederhana yaitu dengan cara
    1. download font Bali Simbar
    2. Copy Font
    3. Windows (start) --> control Panel --> font (lalu Paste di dalam folder font) font Bali Simbar Sudah teristal
  • Untuk anda yang ingin menggunakan Bali Simbar (tutorial) yang lengkap dapat anda download di sini atau pada tabel di bawah. 
 
Font aksara Bali Simbar untuk Microsoft® Windows Word©
Petunjuk penulisan Aksara Bali Simbar untuk Microsoft® Windows Word©
Font2 Kawi Times New Roman untuk mengalih-aksarakan bahasa kawi
Bali Q Dunia Q

Template Aksara Bali Simbar untuk pengaktif keyboard Microsoft® Windows Word©
Aksara Bali Simbar lengkap
Microsoft® Windows Word©

  • Untuk mendapatkan artikel yang lengkap dapat di download Artikel.pdf  


Kamus Bali - Indo & Indo - Bali

6.10.2012

Fungsi dan makna kata dasar


BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Morfologi merupakan bagian dari ilmu bahasa atau linguistik. Ilmu bahasa, secara singkat, dapat sijelaskan sebagai ilmu yang mempelajari seluk beluk bahasa secara ilmiah. Seperti halnya ilmu-ilmu lain, ilmu bahasa bersifat umum, maksudnya tidak terikat pada satu bahasa.
Sebuah kata dalam bahasa Bali akan dapat dipelajari dari unsur bentuk atau struktur yang membangunnya dan isi atau arti yang dirasakan atau ditentukan dari pembentukan kata-kata sebagai kata dasar atau kata jadian. Kata dalam bahasa bali dapat dilihat struktur atau bentuknya yang membangunnya. Dalam betuknya dapat dibagi beberapa macam yaitu kata dasar (kruna lingga), kata jadian (kruna tiron), kata ulang (kruna dwi lingga), kata majemuk.
Dari penjelasan diatas akan dijelaskan salah satu bentuk dari bahasa yaitu kata dasar (kruna lingga). Kata dasar ( Kruna lingga) adalah kata yang sudah mempunyai atau mengandung arti. Dan kata dasar ini belum pemperoleh imbuhan, baik awalan, sisipan, dan akhiran. Kata dasar ini terdiri dari 1,2,3,4, dan 5 suku kata (wanda). Dari hal tersebut kami akan memperdalam penjelasan tentang fungsi dan makna kata dasar bahasa bali.
1.2        Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Apa Morfologi itu ?
2.      Apa  Kata dasar itu?
3.      Bagaimana Fungsi dan Makna Kata Dasar ?
1.3        Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang diharapkan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui morfologi itu!
2.      Untuk mengetahui Apa itu kata dasar!
3.      Untuk mengetahui bagaimana fungsi dan makna kata dasar!
1.4        Manfaat penulisan
        Dalam penulisan makalah ini manfaat yang dapat diperoleh oleh penulis dan pembaca supaya penulis dan pembaca memahami dan mengetahui apa itu morfologi. Disamping itu agar penulis dan pembaca mengetahui fungsi dan makna dari kata dasar.
 
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Morfologi
            Morfologi berasal dari bahas inggris,  morphology yang terdiri dari morpheme + logos. Morph berarti bentuk,  logos berarti ilmu (widya). Jadi morfologi adalah ilmu yang mempelajari  bagian daripada tatabahasa yang membahas tentang seluk-beluk struktur kata serta pengaruh perubahan struktur kata terhadap jenis kata atau kelas kata dan maknanya.
            Dalam morfologi ada penjelasan tentang bentuk kata. Bentuk kata dalam bahasa bali dapat dipelajari dari bentuk atau struktur yang membangunnya dan isi atau arti yang dirasakan atau ditentukan dari pembentukan kata-kata sebagai kata dasar atau kata jadian. 
2.2     Kata Dasar
         Kata dasar adalah kata yang sudah mempunyai atau menagndung arti dan belummemproleh imbuhan, awalan, sisipan, akhiran, serta gabungan imbuhan dan belum adanya pngulangan.
         Umumnya kata dasar dalam bahasa Indonesia, dan juga semua bahasa yang serumpun dengan bahasa Indonesia, terjadi dari dua suku kata; misalnya: rumah, lari, nasi, padi, pikul, jalan, tidur dan sebagainya. Seorang ahli bahasa Jerman, Otto von Dempwolff, dalam penelitiannya tentang bahasa Indonesia telah menetapkan dua macam pola susunan kata dasar dalam bahasa Indonesia. Pola itu disebutnya Pola Kanonik atau Pola Wajib , yaitu:
1.      Pola Kanonik I: K-V-K-V, maksudnya tata susun bunyi yang membentuk suatu kata dasar terdiri dari: Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal, misalnya: padi, lari, paku, tiga, dada, dan sebagainya.
2.      Pola Kanonik II: K-V-K-V-K, maksudnya di samping Pola Kanonik I kata-kata dasar Indonesia dapat juga tersusun dari Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal-Konsonan, misalnya: rumah, tanah, batang, sayap, larang, dan lain-lain.
Kita tidak menyangkal akan apa yang telah dikemukakan oleh von Dempwolff. Tetapi, andaikata kita menerima secara mutlak Pola Kanoniknya itu sebagai dasar yang absolut, maka bagaimana kita harus menerapkan kata-kata seperti tendang, banting, panggil, aku, api, anak, dan lain-lain? Berarti kita sekurang-kurangnya menambahkan beberapa macam rumus lagi agar bisa menampung semua kata dasar yang terdapat dalam bahasa Indonesia, misalnya: K-V-K-K-V-K, V-K-V-K, V-K-V. Dan semua rumus ini sekurang-kurangnya baru mengenai kata-kata dasar. Jika kita membahas kata-kata pada umumnya, tentu akan lebih banyak lagi.
Oleh karena itu kita mengambil suatu dasar lain yang lebih sempit yaitu berdasarkan suku kata ( silaba ). Bila kita berusaha untuk memecah-mecahkan kata dasar bahasa Indonesia menjadi sukukata-sukukata, maka kita akan sampai kepada satu kesimpulan bahwa ada tiga macam struktur sukukata dalam bahasa Indonesia yaitu: V, V-K, K-V , dan K-V-K . Dengan demikian kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dibentuk dari kemungkinan-kemungkinan gabungan dari ketiga jenis silaba itu, misalnya:
-          ru – mah  (K-V + K-V-K)
-          ka – ta     (K-V + K-V)
-          a – pa      (V + K-V)
-          lem – but  (K-V-K + K-V-K)
-          na – ik      (K-V + V-K)
-          a – ir       (V + V-K) dan lain-lain.
Bedasarkan bentuk atau struktur wanda atau silabik kata dasar bahasa bali dapat dirincikan menjadi 5 (lima) macam yaitu :
a.   Kata dasar terdiri atas 1 suku kata/silabik (wanda)
Contohnya : bah, don, doh, yeh, tuh.
b.   Kata dasar terdiri atas 2 suku kata/ silabik (wanda)
Contohnya : bahbah, baud, damper, liang.
c.    Kata dasar terdiri atas 3 suku kata/ silabik (wanda)
Contohnya : delima, kertala, bencana, segera, negara.
d.   Kata dasar terdiri atas 4 suku kata/ silabik (wanda)
Contohnya : jebuggarum, kumalipan, karangasem.
e.   Kata dasar terdiri atas 5 suku kata/ silabik (wanda)
Contohnya : katiwawalan, katimmumulan, kalisasuan, tambulilingan.
Dalam istilah kata dasar ini kadang-kadang sama atau berbeda dengan bentuk dasar. Dari contoh penganggonne dapat dirinci anggo adalah kata dasar dari nganggo (n-anggo), sedangkan penganggo adalah sebagai bentuk dasar dari panganggonne (panganggo-ne).

  2.3        Fungsi dan Makna Kata Dasar
2.3.1.      Fungsi kata dasar
Sebelum membahas tentang fungsi kata dasar kita harus mengenal apa itu fungsi. Fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifat atau pelaksanaannya. Dan Fungsi (bahasa), dalam linguistik berarti suatu cara untuk mencapai tujuan dengan menggunakan bahasa tersebut. Fungsi kata dasar adalah sebagai penunjang pemaknaan dan kegunaan dari  imbuhandan termaksuk fungsi gramatikal.
Kata dasar makan termasuk golongan kata kerja, setelah mendapat afiks –an menjadi makanan, kata tersebut termasuk golongan kata benda. Jelas bahwa disini fungsi kata dasar adalah penujang pembentukan fungsi dari afiks –an yaitu sebagai pembentuk kata benda.
2.3.2.      Makna kata dasar
Sebelum membahas tentang Makna kata dasar kita harus mengenal juga apa itu makna. Makna adalah arti atau maksud dan antara lain dapat merujuk pada hal-hal berikut. Makna (linguistik), makna yang disampaikan melalui bahasa. Makna (nonlinguistik), makna yang disampaikan tidak melalui bahasa verbal atau tulisan, melainkan misalnya melalui bahasa tubuh atau fenomena alam. Makna leksikal, makna kata secara leksikal tanpa turunan atau interpretasi.
 Makna kata dasar meruapan fungsi semantic yaitu menekankan sebuah maksud dari kata yang menyusun kalimat-kalimat yang disusun dalam wacana.  

a. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
•  Makna leksikal ialah makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lainnya dalam sebuah struktur (frase klausa atau kalimat).
Contoh:
            - rumah     : bangunan untuk tempat tinggal manusia
            - makan     : mengunyah dan menelan sesuatu
            - makanan : segala sesuatu yang boleh dimakan
Makna leksikal kata-kata tersebut dimuat dalam kamus. 
Makna gramatikal (struktur) ialah makna baru yang timbul akibat terjadinya proses gramatikal (pengimbuhan, pengulangan, pemajemukan).
Contoh:
             -  berumah               : mempunyai rumah
             -  rumah-rumah       : banyak rumah
             -  rumah makan       : rumah tempat makan
             -   rumah ayah          : rumah milik ayah 
b. Makna Denotasi dan Konotasi
• Makna denotatif (referensial) ialah makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau makna dasarnya.
Contoh:
                        -   merah  : warna seperti warna darah.
                        -   ular     : binatang menjalar, tidak berkaki, kulitnya bersisik.
• Makna konotatif (evaluasi) ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu.
Contoh:
     Makna dasar                                        Makna tambahan
       (denotasi)                                              (konotasi)
merah     :  warna   ……………………….    berani; dilarang
ular         : binatang  ……………………    menakutkan/ berbahaya
•  Makna dasar beberapa kata misalnya: buruh, pekerjaan, pegawai, dan karyawan, memang sama, yaitu orang yang bekerja, tetapi nilai rasanya berbeda. Kata buruh dan pekerja bernilai rasa rendah/ kasar, sedangkan pegawai dan karyawan bernilai rasa tinggi.
•   Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi negatif.
Contoh:
            Konotasi positif                                    Konotasi negatif
-           suami istri                                              laki bini
-           tunanetra                                               buta
-           pria                                                         laki-laki
• Kata-kata yang bermakna denotatif tepat digunakan dalam karya ilmiah, sedangkan kata-kata yang bermakna konotatif wajar digunakan dalam karya sastra.
            Ada dua macam golonagan macam kata yaitu kata yang menandung makna, konsep atau pengertian dan kata-kata yang tidak mengandung makna melaikan hanya memiliki fungsi gramatikal.
      Adapun contohnya.
      Pengunaan kata dasar dalam menyusun sebuah wacana secara gramatikal saja belum tentu menghasilkan bentuk-bentuk wacana yang dapat menyampaikan amanat dengan tepat dan benar. Ketepatan sebuah wacana masih tergantung juga pada ketepatan makna – makna tersebut misalnya :
-         Kucing itu menulis surat
Secara gramatikal kalimat tersebut adalah benar. Tetapi secara semantic kalimat tersebut tidak dapat diterima, sebab tidak ada hubungan semanik antara kata kerja menulis yang menjadi predikat kalimat itu dengan kata benda kucing yang menjadi subyeknya. Kata kerja menulis mengandung makna perbuatan yang bisa dilakukan oleh manusia padahal kucing yang menjadi subyek kalimat tersebut bukan manusia. Beda halnya kalau subyek kalimat tersebut kita gani dengan kata benda lurah sehingga menjadi :
-         Lurah itu menulis surat
Maka kalimat tersebut secara gramatikal dan secara semantic bisa di terima. Lurah adalah kata benda manusia, yang bisa melakukan perbuatan  menulis. Jadi ada hubungan sematik antara subjek dengan predikat di dalam kalimat tersebut.
                            
BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan
 Umumnya kata dasar dalam bahasa Indonesia, dan juga semua bahasa yang serumpun dengan bahasa Indonesia, terjadi dari dua suku kata; misalnya: rumah, lari, nasi, padi, pikul, jalan, tidur dan sebagainya. Seorang ahli bahasa Jerman, Otto von Dempwolff, dalam penelitiannya tentang bahasa Indonesia telah menetapkan dua macam pola susunan kata dasar dalam bahasa Indonesia. Pola itu disebutnya Pola Kanonik atau Pola Wajib. Fungsi kata dasar adalah sebagai penunjang pemaknaan dan kegunaan dari  imbuhandan termaksuk fungsi gramatik. Makna kata dasar meruapan fungsi semantic yaitu menekankan sebuah maksud dari kata yang menyusun kalimat-kalimat yang disusun dalam wacana.
3.2        Saran
Kalimat atau kalimat-kalimat yang kita susun dalam sebuah wacana kita gunakan untuk menyampaikan amanat atau pesan kepada lawan bicara kita. Agar amanat yang kita sampaikan itu dapat diterima dengan baik, persis seperti yang kita inginkan, maka kata-kata yang kita gunakan harus kita pilih sebaik-baiknya, sesuai dengan konsep amanat yang hendak kita sampaikan dan harus memahami fungsi dan makna kata dasar. 

  Daftar Pustaka

Antara, IGP. 2011. Morfologi Bahasa Bali. Tata Wangun Kruna. Singaraja
Gorys, Keraf, Dr. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Cetakan Kesepuluh 
Ramlan,M.1965. Morfologi. Suatu Tinjauan Deskriptif.Yogyakarta:Up.Karyono-Jermajen Sutoyo 10
Tinggen, I Nengah. 1978. Ejaan Bahasa Daerah Bali Yang Disempurnakan. Huruf Latin. Bubunan
Warna, I Wayan (dkk). 1983. Tata Bahasa Bali.Denpasar: Upada Sastra

6.08.2012

Makalah Kurikulum

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  LATAR BELAKANG
Kurikulum memiliki dua sisi yang sama pentingnya, yakni kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai implementasi. Kurikulum sebagai dokumen melahirkan bentuk kurikulum tertulis, yang kemudian dijadikan pedoman bagi setiap pengembang kurikulum termasuk guru. Kurikulum sebagai implementasi adalah realitas dari pelaksanaan kurikulum operasional dilapangan, yang tidak lain adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh siswa baik didalam maupun diluar kelas. Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari proses pengembangan suatu kurikulum, dan pengertian kurikulum. Kurikulum sebagai sebuah rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, maka dalam penyusunan kurikulum tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh dan kuat.
Landasan pengembangan kurikulum tidak hanya diperlukan bagi para penyusun kurikulum atau kurikulum tertulis yang sering disebut juga sebagai kurikulum ideal, akan tetapi terutama harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksana kurikulum yaitu para pengawas pendidikan dan para guru serta pihak-pihak lain yang terkait dengan tugas-tugas pengelolaan pendidikan, sebagai bahan untuk dijadikan instrumen dalam melakukan pembinaan terhadap implementasi kurikulum di setiap jenjang pendidikan. Penyusunan dan pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Dibutuhkan berbagai acuan, landasan dan prinsip-prinsip yang kuat agar mampu dijadikan dasar pijakan dalam melakukan proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga dapat memfasilitasi tercapainya sasaran pendidikan dan pembelajaran secara lebih efektif dan efisien.
Peningkatan mutu pendidikan sangat diperlukan bagi semua pihak terutama dalam memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas. Usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan diantaranya adalah dengan menyusun kurikulum pendidikan yang dijalankan dalam proses pembelajaran. Sebagaimana tercantum dalam Undang – Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 Pasal 35 yang menyebutkan bahwa pengembangan kurikulum merupakan bagian dari penjabaran Standar Nasional Pendidikan. Dari dasar hukum yang ada, pemerintah selanjutnya mengembangkan pendidikan berdasarkan sebuah acuan tertentu yang berupa kurikulum. Kurikulum dipakai oleh sekolah di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali.
1.2. Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia?
2.      Apa penngertian kurikulum?
3.      Bagaimana landasan-landasan pengembangan kurikulum?
4.      Bagaimana prinsip-prinsip pengembangan kurikulum?
5.      Apa saja acuan pengembangan kurikulum?
6.      Bagaimana tinjauan tentang KTSP?
1.3.Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui penngertian kurikulum.
3.      Untuk mengetahui landasan-landasan pengembangan kurikulum.
4.      Untuk mengetahui prinsip-prinsip pengembangan kurikulum.
5.      Untuk mengetahui acuan Pengembangan Kurikulum.
6.      Untuk mengetahui tinjauan tentang KTSP.


BAB II

PEMBAHASAN


2.1  Sejarah  Kurikulum di Indonesia
Secara umum, perubahan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan setiap sepuluh tahun sekali. Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar kurikulum tidak ketinggalan dengan perkembangan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologinya. Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Kurikulum yang pernah diberlakukan secara nasional di Indonesia adalah sebagai berikut :
a.         Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
b.         Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
c.         Kurikulum 1968
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
d.            Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatar belakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
e.            Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
f.            Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan. Perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
g.            Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
h.            KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Munculah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.

2.2        Pengertian Kurikulum
Menurut Hilda Taba mengemukakan, bahwa pada hakikatnya tiap kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpatisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakatnya. Istilah “Kurikulum” memiliki berbagai tafsiran yang dirumuskan oleh pakar-pakar dalam bidang pengembangan kurikulum sejak dulu sampai dewasa ini. Tafsiran-tafsiran tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya, sesuai dengan titik berat inti dan pandangan dari pakar yang bersangkutan. Istilah kurikulum berasal dari bahas latin, yakni “Curriculae”, artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu itu, pengertian kurikulum ialah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dengan menempuh suatu kurikulum, siswa dapat memperoleh ijazah.
Dalam hal ini, ijazah pada hakikatnya merupakan suatu bukti, bahwa siswa telah menempuh kurikulum yang berupa rencana pelajaran, sebagaimana halnya seorang pelari telah menempuh suatu jarak antara satu tempat ketempat lainnya dan akhirnya mencapai finish. Dengan kata lain, suatu kurikulum dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan dan ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu.
Menurut Inlow Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Menurut Nengly and Evaras Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan.

2.3        Landasan Pengembangan Kurikulum
Agar pengembangan kurikulum dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam pengembangan kurikulum diperlakan landasan-landasan pengembangan kurikulum. Seperti yang tercantum dalam kurikulum SP, dalam landasan program dan pengembangan dikemukakan bahwa pengembangan kurikulum mengacu pada tiga unsur, yaitu : (1). Nilai dasar yang mempakan falsafah dalam penyelidikan manusia seutuhnya, (2). Fakta empirik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum, baik berdasarkan penilaian kurikulum studi, maupun surve lainnya. (3). Landasan teori yang menjadi arahan pengembangan dan kerangka penyorotannya (Depdikbud, 1986 : 1). Hal yang dikemukakan dalam “Landasan Program dan Pengembangan Kurikulum” merupakan contoh adanya landasan-landasan pengembangan kurikulum, yang kerapkali disebut sebagai determinan (faktor-faktor penentu) pengembangan kurikulum.
1.      Landasan Filosofis. Pendidikan ada dan berada dalam kehidupan masyarakat sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk dilestarikan diselenggarakan melalui pendidikan (dalam arti seluas-luasnya) (Raka, Joni, 1983 : 6). Segala kehendak yang dimiliki oleh masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah pada pendidikan. Dengan demikian pandangan dan wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan pandangan dan wawasan dalam pendidikan, atau dapat dikatakan bahwa filsafat yang hidup dalam masyarakat merupakan landasan filosofis pertyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu landasan filosofis pengembangan kurikulum adalah hakikat realitas, ilmu pengetahuan, sistem nilai, nilai kebaikan, keindahan, dan hakikat pikiran yang ada dalam masysarakat. Secara logis dan realistis, landasan filosofis pengembangan kurikulum dari satu sistem berbeda dengan pendidikan yang lain. Juga landasan filosofis pengembangan kurikulum dan suatu lembaga berbeda dengan lembaga yang lain.
2.      landsaan Sosial- Budaya – Agama. Realitas sosial-budaya – agama yang ada dalam masyarakat merupakan bahan kajian pengembangan kurikulum untuk digunakan sebagai landasan pengembangan kurikulum. Masyarakat adalah sebagai kelompok individu-individu mempunyai pengaruh terhadap individu-individu dan sebaliknya, individu-individu itu pada taraf-taraf tertentu juga mempunyai pengaruh terhadap masyarakat (Raka Joni, 1983 :5) kebersaman individu-individu dalam masyarakat diikat dan terikat oleh nilai-nilai individu yang menjadi pegangan hidup dalam interaksi di antana mereka. Nilai-nilai yang perlu dipertahankan dan dihomati oleh individu-individu dalam masyarakat tersebut, mencakup nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai keagamaam berhubungan erat dengan kepercayaan masyarakat terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang mereka anut. Oleh karena nilai agama berhubungan dengan kepereayaan, maka pada umumnya bersifat langgeng sampai masyarakat pemeluknya melepaskan kepercayaannya (Rika Joni, 1983 : 5). Nilai-nilai sosial- budaya masyarakat bersumber pada basil karya akal budi manusia, sehingga dalam mencrima, menyebarluaskan, melestrikan dan atau melepaskannya manusia menggunakan akalnya. Untuk menerima melaksanakan, menyebarluaskan. pelestarian, atau penolakan dan pelepasan nilai-nilai sosial budaya-agama, maka masyarakat memanfaatkan pendidikan yang dirancang melalui kurikulum. Jelas kiranya bagi kita. mengapa salah satu landasan pengembangan kurikulum adalah nilai-nilai sosial-budaya-agama.
3.      Landasan ilmu pengetahuan teknologi dan seni. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik (siswa) untuk menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang semakin pesat ( Raka Joni, 1983: 25 ). Perubahan masarakat mencakup nilai yang disepakati oleh masyarakat tersebut. Sedangkan seluruh nilal yang telah disepakati oleh msyarakat dapat pula tersebut, sedangkan seluruh nilai yang disepakati oleh masyarakat dapat pula disebut sebagai kebudayaan. Oleh karena itu, kebudayaan dapat dikatakan sebagai suatu konsep yang memiliki kompleksitas tinggi (Zais, 1987: 157). Namun dengan demikian menurut Damd Joesoep (1982 dalam Raka Joni, 1983 : 40) bahwa sumber ratusan ribu nilai yang ada dalam masyarakat ntuk perkembangan melalui proses pendidikan ada tiga yaitu : pikiran ( logika), perasaan (estetika), dan kemuan (etika). Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah nilai-nilai yang bersumber pada pikiran atau logika, sedangkan seni bersumber pada perasaaan atau estetika. Mengingat pendidikan merupakan upaya penyiapan siswa menghadapi perubaban yang makin pesat, temasuk didalamya perubahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

 2.4.    Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
1.      Berorietasi pada tujuan
Pegembagan kurikulum diarahkan untuk mecapai tujuan tertentu, yang ber titik tolak dari tujuan pendidikan nasioal. Tujuan kurikulum merupakan penjabaran dan upaya untuk mencapai tujuan dan jenjang pendidikan tertentu. Tujuan kurikulum mengadung aspek-aspek pengetahuan, keterampilan.
2.      Keterpaduan
Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip keterpaduan  perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topic dan konsistensi antara usur-usurnya. Pelaksaan terpadu dengan melibatkan semua pihak, baik dilingkungan sekolah maupun pada tingkat intersektoral. Dengan keterpaduan ini diharapkan terbentuknya pribadi yang bulat dan utuh
     3. Efisiensi dan efektifitas
Peggembagan kurikulum harus mempertimbagkan segi efisiensi dalam pendaya guna dan, waktu, tenaga dan sumber-sumber yang tersedia agar tercapai hasil yang optimal. Dan yang terbatas harus digunakan sedemikian rupa dalam rangka mendukung proses pemeblajaran. Waktu yang tersedia bagi siswa di sekolah juga sangat terbatas harus diamafaatkan secara tepat sesuai dengan mata pelajaran dan bahan pembelajran yang diperlukan. Tenaga di sekolah juga sagat terbatas, baik dalam jumlah maupun dalam mutuya, hendaknya didayagunakan secara efesien untuk melaksanakan proses pembelajaran. Demikian juga keterbatasan fasilitas, baik sarana maupun prasarana.
4.   Berkesimambugan (kotiuitas)
Kurikulum disusun secara berkesiambugan, artinya bagian-bagian, aspek-aspek, materi dan bahan kajian disusun secara berurutan, tidak terlepas-lepas, melainkan satu sama lain memiliki hubungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur dalam satuan pendidikan, tingkat perkembagan siswa. Dengan prinsip ini, tampak jelas alur dan keterkaitan dalam kurikulum tersebut sehingga mempermudah guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran.
5.   Fleksibilitas (keluesan)
Kurikulum yang lues mudah di sesuiakan, diubah dilegkapi atau dikurangi berdasarkan tuntutan dan keadaan dan kemampuan setempat, jadi tidak statis atau kaku.
6.   Keterpaduan
Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip keterpaduan  perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topic dan konsistensi antara usur-usurnya. Pelaksaan terpadu dengan melibatkan semua pihak, baik dilingkungan sekolah maupun pada tingkat intersektoral. Dengan keterpaduan ini diharapkan terbentuknya pribadi yang bulat dan utuh
7. Mutu 
Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan mutu dan mutu pendidikan. Pendidikan mutu berarti pelaksanaan pembelajaran yang bermutu, sedangkan mutu  pendidikan berorientasi pada hasil pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang bermutu ditentukan oleh derajat mutu guru, kegiatan pembelajaran, peralatan atau media yang bermutu. Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan kriteria tujuan pendidikan nasional, yang diharapkan.
           8.  Relevansi (kesesuaian)
Pengembagan kurikulum yang meliputi tujuan, isi, dan system penyampaiannya harus relevansi (kesesuaian) dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa, serta serasi dengan perkembagan ilmu pegetahhuan dan teknologi.

2.5.      Acuan Pengembangan Kurikulum
1.      Acuan formal yang digunakan dalam pengembangan kurikulum adalah: 
- Kepmendiknas no. 232/u/2000 tentang Pengembangan kurikulum dan penilaian Hasil belajar. 
- Kepmendiknas no. 045/u/2002 tentang Kurikulum inti pendidikan tinggi.
2.      Dinamika kebutuhan masyarakat dan globalisasi ipteks

       A.     Acuan Pengembangan KTSP
Pengembangan KTSP mengacu pada Standar Nasional Pendidikan yang digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga pendidikan sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta penuh tanggung jawab.
Lebih lanjut, penyusunan KTSP mengacu pada beberapa UU, PP, dan Permin sebagai berikut; (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (2) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; (3) Peraturan Menteri No. 20 Tahun 2006 tentang Standar Isi; (4) Peraturan Menteri No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan; (5) Peraturan Menteri No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan PP No. 19 Tahun 2005; (6) Panduan dari BSNP.
a.      KTSP di susun dengan memperhatikan acuan operasional. Yaitu :

1.      Peningkatan Iman dan Taqwa serta Akhlaq Mulia menjadi dasar
Pembentukan Kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum di susun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan taqwa serta akhlaq mulia.
2.         Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik.
Kurikulum di susun agar memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangan.
3.          Tuntutan Dunia Kerja
Kurikulum harus memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan kebutuhan dunia kerja khususnya bagi mereka yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
4.      Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
Daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan dan keragaman karakterstik lingkungan, oleh karena itu kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan daerah.
5.      Tuntutan Pembangunan Daerah Dan Nasional
Pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan keseimbangan tuntutan pembangunan daerah dan nasional
6.      Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Kurikulum harus di kembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
7.       Agama
Kurikulum harus di kembangkan untuk meningkatkan toleransi dan kerukunan umat beragama, serta memperhatikan norma yang berlaku di lingkungan sekolah.
8.      Dinamika perkembangan global
Kurikulum harus di kembangkan agar peserta didik mampu bersaing secara global dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain
9.      Persatuan Nasional Dan Nilai-Nilai Kebangsaan
Kurikulum harus mendorong wawasan dan sikap kebangsaan dan persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam negara kesatuan republik indonesia
10.  Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Setempat
Kurikulum harus di kembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya
11.   Kesetaraan Gender
Kurikulum harus di arahkan kepada pendidikan yang berkeadilan dan mendorong tumbuh kembangnya kesetaraan gender.
12.   Karakteristik Satuan Pendidikan
Kurikulum harus di kembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan.
2.6.      Tinjauan Tentang KTSP
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada standar isi (SI) dan standar kelulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Selain dari itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005.
KTSP merupakan paradigma baru dalam pengembangan kurikulum,yang memiliki otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah.Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam megelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.Peningkatan mutu pendidikan dapat kita lakukan dengan berbagai cara,salah satunya dengan menggunakan strategi  pembelajaran. Dalam pembelajaran, strategi pembelajaran adalah seperangkat tindakan guru untuk mewujudkan proses pembelajaran yang memudahkan siswa untuk mencapai tujuan belajarnya. Strategi pembelajaran yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemahaman guru mengenai pengembangan silabus, pengembangan RPP, pelaksanaan kegiatan pembelajaran dan kegiatan evaluasi pembelajaran berdasarkan KTSP. Persepsi adalah suatu pesan aktifitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian,pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain yang dipersepsi. Dasar guru berpersepsi karena guru telah mengenal KTSP, sehinngga peneliti berinisiatif untuk meneliti persepsi guru mengenai KTSP. Setiap guru mempunyai reaksi atau pandangan yang berbeda terhadap perbaikan kurikulum, pandangan itulah yang dimaksud dengan persepsi guru tentang kurikulum, dalam hal ini perbaikan kurikulum lama menjadi kurikulum baru, maka persepsi guru terhadap kurikulum akan menentukan berhasil tidaknya guru mengimplementasikan kurikulum.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Perubahan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan setiap sepuluh tahun sekali. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Istilah kurikulum berasal dari bahas latin, yakni “Curriculae”, artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu itu, pengertian kurikulum ialah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dengan menempuh suatu kurikulum, siswa dapat memperoleh ijazah.
Agar pengembangan kurikulum dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan pengembangan kurikulum. landasan-landasan pengembangan kurikulum, yang kerapkali disebut sebagai determinan (faktor-faktor penentu) pengembangan kurikulum yaitu Landasan Filosofis, landsaan Sosial- Budaya – Agama, Landasan ilmu pengetahuan teknologi dan seni. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum yaitu Berorietasi pada tujuan, Keterpaduan, Efisiensi dan efektifitas, Berkesimambugan (kotiuitas), Fleksibilitas (keluesan), Keterpaduan, Mutu dan Relevansi (kesesuaian). Dan kurikulum terdapat acuan-acuan dalam perkembangan kurikulum diantaranya  Acuan formal yang digunakan dalam pengembangan kurikulum adalah: Kepmendiknas no. 232/u/2000 tentang Pengembangan kurikulum dan penilaian Hasil belajar dan Kepmendiknas no. 045/u/2002 tentang Kurikulum inti pendidikan tinggi. Serta Dinamika kebutuhan masyarakat dan globalisasi ipteks.

3.2.Saran
Makalah yang berjudul Memahami Kurikulum dan Prinsip-Prinsip Pengembangannya masih jauh dari sempurna diharapkan melalui makalah ini, pembaca dapat mengerti dan memahami tentang bagaimana kurikulum yang ada terutama bagi dewan pendidik agar bisa mencapai mutu pendidikan yang sempurna.


                                                                                                   
DAFTAR PUSTAKA

Dakir, H. 2004. Perencanaan dan Perkembangan Kurukulum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.  

http://www.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/12052008141540_KURIKULUM.ppt

Muslich, Masnur. 2007. KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: PT. bumi aksara.

Nastion. 1990. Asas – Asas Kurikulum. Jakarta: PT. bumi aksara.

Oeamar hamalik,____.kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: PT. bumi aksara,2007, hal 18

Sudjana, Nana. 1996. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung : Sinar Baru Algerindo.

Undang-Undang Republik Indonesia No.XX Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional.