ANALISA
Realisasi Kata Ganti Orang
(Persona Jamak)
Dalam Bahasa Bali Aga
Di desa
Sidatapa
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Bali merupakan wilayah yang menjadi bagian dari
Indonesia. Bisa dikata merupakan pulau yang memiliki keragaman budaya yang luar
biasa, terutama dalam penggunaan bahasa. Seperti halnya dengan bahasa daerah
yang lain, bahasa balli memiliki beberapa variasi. Secara umum variasi bahasa
bali itu dapat di bedakan menjadi tiga, yaitu (1) variasi temporal, (2) variasi
regional, dan (3) variasi social. Variasi yang mengacu pada aspek sejarah dan
perkembangan yang relative terbatas, misalnya bahasa bali Kuno yang sering
disebut bahasa bali Mula atau bahasa (dialek) bali aga serta bahasa bali baru
atau bahasa bali modern (tim pengusun Tata
bahasa baku Bahasa bali, 1996:1).
Keragaman itu
bisa ditemui di beberapa daerah di Bali.
Antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, ada beberapa bahasa tertentu
yang berbeda termasuk dalam penggunaan kata ganti. Bahkan, terdapat perbedaan
tertentu antara bahasa Bali Aga dengan bahasa Bali Baru dan juga Bahasa
Indonesia.
Penggunaan kata
ganti dalam bahasa Bali terdapat beberapa ungkapan yang cukup beragam dibanding
bahasa Indonesia. Keragaman ini memiliki
karakteristik dan makna tersendiri. Oleh karena itu lah, kiranya penting untuk
mengkaji secara khusus penggunaan kata ganti tersebut. Meski ungkapan tersebut
cukup pantas dikalangan orang Bali Aga, namun menjadi perbedaan ketika dikaji
secara akademis melalui kaidah bahasa. Selain itu, kajian ini ingin melihat
bagaimana bahasa mempengaruhi budaya dan konstruksi pemikiran seseorang. Karena
penelitian ini memfokuskan pada penggunaan kata ganti antara kedua bahasa
dengan mengambil fokus satu kasus kata ganti
persona, yaitu bahasa Bali Aga dengan Bahasa Bali Baru realisasinya dalam keseharian serta makna di
dalamnya, maka metode yang digunakan
adalah Padan Translasional. Penggunaan metode ini karena membandingkan antara bahasa
Bali Aga dengan Bahasa Bali Baru serta melihat pengaruh-pengaruh dan kedetailan
bahasa tersebut dalam tingkat tertentu.
1.2. Masalah
Berangkat
dari kenyataan bahasa tersebut, pertanyaan yang muncul adalah
1. Apa
perbedaan antara bahasa Bali Aga dengan Bahasa Bali ?
2. Kenapa
bahasa tersebut muncul sebagai ungkapan yang memiliki, sekaligus mempengaruhi,
tingkat kesopanan, dan konstruksi pemikiran yang berbeda-beda antara kata ganti
bahasa bahasa Bali Aga dengan Bahasa Bali?
3. Apakah
penggunaan bahasa tersebut merupakan
kreasi orang Bali Aga yang mencirikan sebagai budaya Bali Aga?
1.3. Tujuan
1. Untuk
mengetahui apa perbedaan antara bahasa Bali
Aga dengan Bahasa Bali Baru.
2. Untuk
mengatehui mengapa bahasa tersebut muncul sebagai ungkapan yang memiliki,
sekaligus mempengaruhi, tingkat kesopanan, dan konstruksi pemikiran yang
berbeda-beda antara kata ganti bahasa bahasa Bali Aga dengan Bahasa Bali Baru.
3. Untuk
mengetahui Apakah penggunaan bahasa tersebut
merupakan kreasi orang Bali Aga yang mencirikan sebagai budaya Bali Aga.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Kata
Ganti
Pronomina
atau kata ganti adalah kata yang dipakai untuk mengganti orang atau benda; kata ganti seperti kata aku, engkau, dia (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
index.php). Kata ganti dibedakan atas:
2.1.1.
Kata ganti orang
a. Kata
ganti orang pertama, terbagi atas:
a) Kata
ganti orang pertama tunggal
Contoh: aku, saya, daku, ku, -ku
b) Kata
ganti orang pertama jamak
Contoh: kami, kita
b. Kata
ganti orang kedua, terbagi atas:
a) Kata
ganti orang kedua tunggal
Contoh: kamu, Anda, engkau, kau,
dikau, -mu
b) Kata
ganti orang kedua jamak
Contoh: kalian, kamu sekalian
c. Kata
ganti orang ketiga, terbagi atas:
a) Kata
ganti orang ketiga tunggal
Contoh: dia, beliau, ia, -nya
b) Kata
ganti orang ketiga jamak
Contoh: mereka, -nya
2.1.2.
Kata ganti penunjuk
a. Kata
ganti penunjuk umum
Contoh: ini, itu
b. Kata
ganti penunjuk tempat
Contoh: sini, situ, sana, di sini,
ke sana, dari situ, ke sini, dari sana,
ke sini, yakni, yaitu
c. Kata
ganti penunjuk ihwal
Contoh: begini begitu
d. Kata
ganti penanya
a) Kata
ganti penanya benda atau orang
Contoh: apa, siapa, mana, yang mana
b) Kata
ganti penanya waktu
Contoh: kapan, bilamana, apabila
c) Kata
ganti penanya tempat
Contoh: di mana, ke mana, dari mana
d) Kata
ganti penanya keadaan
Contoh: mengapa, bagaimana
e) Kata
ganti penanya jumlah
Contoh: berapa
2.1.3. Kata
ganti yang tidak menunjuk pada orang atau benda tertentu.
Contoh:
sesuatu, seseorang, barang siapa, siapa, apa, apa- apa, anu, masing-masing,
sendiri (Waridah, 2010: 275-276).
Dalam kata ganti bahasa bali kata ganti –ida, -ipun, -nya, -nyane, dan
–dane ditulis serangkaian dengan kata yang mendahuluinya bila menyatakan
kepunyaan.
Dalam
pembahasan ini, penulis hanya memfokuskan pada kata ganti persona Tunggal yang terealisasikan
dalam bahasa Indonesia, Bahasa Bali dan
bahasa Bali Aga. Jika ditabelkan, maka realisasi pronominal persona akan
terlihat sebagai berikut.
Kata
Ganti Orang
|
Bahasa Indonesia
|
Bahasa Bali
|
Bahasa Bali Aga
|
Tunggal
|
Tunggal
|
Tunggal
|
|
Pertama
|
Aku,
saya
|
Tiang,
icing, raga
|
Awak
|
Kedua
|
Kamu
|
Cai,
nyai, kamu
|
Ko
|
Ketiga
|
Dia
|
Iya,
ida
|
Ngko
|
2.2.
Gaya
Bahasa Bali
Bahasa
Bali yang digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari orang Bali tidak lepas
dari sistem tingkat yang sangat rumit. Sistem ini menyangkut
perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan
seperti perbedaan kedudukan, pangkat, umur, serta tingkat keakraban antara yang menyapa dan
yang disapa. Dalam konsepsi orang Bali,
timbullah tingkat-tingkat bahasa yang
berbeda-beda tinggi dan rendahnya yang disebabkan oleh berbagai gaya. Berdasarkan
analisis linguistik, unsur-unsur yang
menyebabkan berbagai gaya itu dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
a. Perbedaan
morfologi yang disebabkan karena penggunaan awalan atau
akhiran yang lain,
b. Perbedaan
sintaksis karena penggunaan sinonim yang
lain, partikel yang lain, kata ganti orang yang lain, atau kata ganti penunjuk
yang lain.
Ada 2 gaya yang paling dasar:
a) Basa
Sor
b)
Basa Singgih (Tinggen, 1986:2-3)
Dari
kedua macam dasar tersebut dapat dihasilkan beberapa macam turunan tipe bahasa bali sebagai
berikut,
a.
Bahasa singgih adalah suatu tatanan
bahasa yang digunakan untuk menghormati I Triwangsa, Orang berpangkat, Orang
yang belum dikenal.
Dalam
bahasa singgih dibagi menjadi 4 diantaranya:
a)
Basa Alus singgih
Digunakan
pada saat berbicara dengan orang yang memiliki kasta yang lebih tinggi.
Contoh : ida sampun seda (
beliau/ia sudah mati)
b) Basa
alus sor
Digunakan
pada saat berbicara dengn orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
Contoh
: ipun nenten mirage (dia tidak mendengar)
c) Basa
alus madia
Bahasa
ini memiliki rasa yang tengah-tengah yang dimana digunakan untuk berbicara
dengan wanggsa setara ataupun orang yang kita junjung.
Contoh
: titiang sampun ngajeng (saya sudah makan)
d) Basa
alus mider
Bahasa yang merupakan bahasa alus
yang membangkitkan kegunaannya pada saat berbicara dengan orang yang memikili
kedudukan yang tinggi.
Contoh: gelis memargi (cepat
berjalan)
b. Bahasa
sor adalah bahasa yang digunakan sehari-hari yang digunakan untuk orang yang
memiliki kedudukan yang sama, pada pertengkaran. yang paling bawah, digunakan dalam percakapan sehari-hari
antara yang lebih tua dengan yang muda, orang sederajat atau teman sebalit, atasan keapada pegawainya
(bawahannya).
a) Basa
Kasamen / kapara
Bahasa yang
dapat digunakan untuk semua penutur yang dimana bahasa ini tidak kasar atau pun
tidak halus.
Contoh : Cening
mara teka?( Anak baru datang)
b) Basa
Kasar
Bahasa yang digunakan pada saat
bertengkar.
Contoh : Iba ube man medem? (kamu
sudah dapat tidur)
2.3.
Gaya Bahasa Bali Aga
Terkait dengan gaya bahasa Bali Aga sama namun berbeda
dengan gaya bahasa Bali Baru. Dalam penuturan Bali Aga tidak mengenal yang
namanya Sor Singgih Basa, hanya saja dalam penururannya disesuaikan dengan
kondisi dimana dia berada. Bila dalam lingkungannya bahasa yang digunakan yaitu
bahasa bali biasa namun agak sedikit kasar. Bahasa Bali aga yang kita kenal
sebagai bahasa kasar, ini memang kasar karena bahasa ini sudah turun menurun
tanpa di ubah, dalam bentuk gaya bahasa yang cepat dan kasar. Bila kita
pendatang mendengar bahasa mereka kita tidak mengerti, namun kita akan melihat mereka
aneh,tapi bagi masyarkat disana bahasa itu sudah menjadi bahasa umum.
Contohnya:ngamah,mai ngamah malu pak
:medem:
dong mai medem malu dong
:bang
gero malu ento banyak nak nu nginem
:eeh
mai malu ajak meli aman aman pang ado gero amah.
2.4.
Bentuk-bentuk kata persona (kata ganti orang) dalam bahasa bali dialek bali aga
(Sidatapa)
a. Hubungan
Kekerabatan SecaraVertikal
c) Dadong/Kaki
(Nenek/Kakek)
Nenek/
kakek digunakan untuk menyapa orang tua ibu dari pihak ibu atau bapak dari ibu
begitu juga sebaliknya untuk menyapa kedua orang tua ayah, serta untuk menyapa
orang yang lebih tua umurnya yang sebaya dengan nenek. Ada yang menarik dari
kata penyapa nenek. Bahasa Bali Aga dialek Sidatapa tidak menggunakan kata
penyapa kakek, nenek perempuan ataupun kakek sama saja sapaannya yaitu kaki
& dadong (dong & ki).
Contoh: (1) Kejapo dong?
Artinya: Kije dong? (bahasa bali)
Kemana Nenek?’ (bhs. Indo)
(2) Was
ke japo dong?
Kar luas kije dong?
‘Mau ke mana Nenek?’
(3) ko
ngenot cucun dadong?
Man nyingakin cucu dadong?
‘dapat melihat cucu melihat cucu
nenek?’ ‘
d) Bik
& Man (Bibik /Paman)
Bik/man digunakan untuk menyapa
tante atau paman. Perbedaannya, Bik hanya digunakan untuk menyapa adik
perempuan dari ayah/ibu kadung. Sapaan Man diikuti digunakan untuk menyapa
paman adik laki-laki dari ayah/ibu, sedangkan untuk kakak dari ayah/ibu
dipanggil dengan Woe. Sedangkan untuk orang yang diluar dari saudara ayah/ibu
hanya memanggil namanya saja.
Contoh: (1) ngujen to bik?
Napi kakaryanin, bik?
‘Apa yang dikerja tante/paman?’
(2) awak
dot ngamah ebong bik
Titiyng demen pisan ngajeng embung
bik
‘Saya pingin makan tunas bambu muda
tante/paman.’
(3) Awak nutug ngalap cengkeh bik
Titiyang sareng ngambil buah cengkeh
bik
‘Saya mau ikut pergi memetik buah
cengkeh paman/tante.
b. Pronomina
Persona Kedua
Persona
kedua dalam bahasa Indonesia dapat digunakan sebagai penyapa dalam
berkomunikasi. Demikian juga halnya dengan bahasa bali aga. Penyapa persona
kedua dalam bahasa Bali aga meliputi
bentuk bebas dan bentuk klitika.
a) Penyapa
persona kedua bentuk bebas:
1) Ko
(Engkau, Kau)
Persona
kedua, ko dalam bahasa Bali aga dapat digunakan sebagai penyapa dalam
berkomunikasi. Kata penyapa ko biasanya digunakan bersamaan dengan sapaan
hubungan kekeluargaan. Penggunaan seperti ini menurut pengamatan penulis hanya
terdapat dalam bahasa bali aga dialek Sidatapa.
Contoh: (1) Ko nuh ngebang
jajo bau nuh?
Ide sane ngicen sanganan inggih?
‘Engkaukah yang memberikan kue tadi
ya?’
(2) Ko ngando nyak ngoren awak to misan ko
ne.
Ragane nenten ngeraosin ring dewek titiyang yening
ide misan ragne.
‘Engkau tidak memberitahukan
padaku, kalau dia sepupu kamu?
(3) ko ngando nyak ngorang ko nenge nyilih
celepak awak?
Raga ne ten ngorain yening ragane
sane nyilih sandal tiyange?
‘Engkaukah tidak bilng kalu kamu yang meninjam
sandal saya?’
2.5.Keterkaitan
Keluarga, Keakraban Dan Hormat
2.5.1. Orang
Bali
Perilaku sosial
Bali ditentukan oleh prinsip-prinsip kerukunan, dan hormat. Tiap individu dituntut untuk
selamanya berada di bawah tekanan
masyarakat untuk bertindak sesuai dengan kedua prinsip tersebut. Tekanan dari luar ini didukung oleh
perasaan isin dan sungkam dari dalam.
Kedua prinsip keselarasan itu menuntut agar dorongan-dorongannya sendiri
senantiasa dikontrol. Rangsangan - rangsangan alamiah yang muncul ditahan
sebisa mungkin untuk dapat menyesuaikan
diri dengan berbagai otoritas. Begitu pula prinsip keselarasan menuntut agar
masing-masing orang selalu menempatkan penilaian-penilaian dan
pertimbangan-pertimbangannya di bawah prasyarat persetujuan masyarakat, yang
sesuai dengan hubungan-hubungan hirarki yang ada. Satu-satunya tempat bebas tanpa tekanan tersebut adalah
lingkungan keluarga.
Keluarga adalah
tempat keamanan dan sumber perlindungan. Dalam keluarga hubungan antara para
anggotanya diharapkan didasari oleh rasa cinta (tresna), dan tresna itu nampak
kalau orang tidak merasa isin satu sama lain. Bagi perasaan Bali perbedaan yang
paling berarti secara psikologis adalah perbedaan antara keakraban (tresna) dan
hubungan-hubungan yang menuntut sikap hormat. Ia merasa enak dan aman di mana
ia bebas dari dorongan untuk bersikap
hormat dan di mana terdapat suasana keakraban.
Keluarga
idealnya merupakan tempat di mana orang Bali, bebas dari tekanan-tekanan
lahiriah dan batiniah, dimana seseorang dapat mengembangkan jiwa kesosialannya
dan individualitasnya. Justru karena
dalam masyarakat luas ia berada di bawah tekanan psikis untuk selalu
menyembunyikan perasaan-perasaannya yang sebenarnya, serta untuk selalu
memperhatikan kedudukan dan pangkat
setiap pihak, maka keluarga menjadi oasis kebebasan tekanan batin dan tempat di mana ia bisa
menjalankan keutamaan-keutamaan sosial sesuai dengan perasaan dan pengertiannya
sendiri.
Dari sini, jika
dalam lingkungan masyarakat yang luas selalu dipengaruhi oleh kedudukan dan
pangkat, maka di dalam lingkungan keluargalah dipengaruhi oleh suasana
keakraban. Tidak heran jika orang Bali dalam berbahasa dengan keluarga dan
lingkungan sekitarnya dapat berbeda.
2.5.2. Orang
Bali Aga (Desa Sidatapa)
Bali aga,menurut penelitian kita tentang
kehidupan/ masyarakat di sana dalam mengembangakn prinsip-prinsip kerukunan
yang sangat kuat dan tali pesaudaraan yang erat. Mereka tidak pernah merasa ada
di atas mau pun dibawah dalam lingkungan masyarakt ini, kehidupan masyarakat
disana tidak ada perbedaan atau pun tekan-tekan batin dari masyarkat di
sekitrnya mereka sama-sama membangun dan mempertahankan desanya, miskipun
sekarang ini lingkungan masyarakat desa sidetapa banyak terdapat pengaruh-pengaruh
dari luar, masyarakt disana tetap mempertahankannya dari segi bahasa mau pun
penampilan berpaki an,masyarakat desa sidetapa meraka tidak mau meninggalkan
bahasanya sendiri ataupuan kebudayaanya. Desa sidetapa katakannya masyarkat
yang bahasanya di sebut kasar kasar dan keras,tapi dalam pengertian keras dan
kasar-kasar masyarkat disana sangat ramah dan bijaksana dan selalu merasa
rendah diri.
Di
dalam kebudayan yang saat ini masih di pertahankan tanpa di ubah sedikit pun
seperti di dalam rumah yang ada sanggah/kamar suci yang di sebut dengan page
peduluan.yang anehnya lagi tempat sanggah/kamar suci,itu di tempatkan sama
orang yg meninggal sebelum di mandikannya.
2.6. HASIL
Sebagaimana
disebutkan diatas bahwa antara bahasa Bali dengan bahasa Bali aga memiliki perbedaan dalam
penggunaan kata ganti tunggal yang pada
dasarnya memiliki arti yang sama.
Misalnya saja kata ganti “Ida”
sama artinya dengan kata “ko, ngko”. Ada pula kata ganti “aku” yang dimana
dalam bahasa bali ada titiang, icang sama artinya dengan kata “awak” dalam
bahasa bali aga. Dari kedua bahasa tersebut, kita bisa mengamati dengan
menggunakan metode padan transasional tentang bagaimana perbedaan keduanya,
lalu menguhubungkan padanannya. Dalam tulisan ini, penulis ingin melihat
bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi kebanyakan masyarakat Bali.
Untuk melihat lebih jauh, perlu dianalisis bagaimana pengaruh kedua bahasa
tersebut terhadap konstruk pemikiran dan budaya.
2.6.1. Kesamaan
Translasional
Barangkali kedua
bahasa tersebut bisa jadi ada beberapa kata
yang lebih detail antara yang satu dengan yang lain. Dalam bahasa bali
aga, hanya kata “ko” yang biasanya digunakan untuk orang. Sedangkan dalam
bahasa Bali, untuk menunjuk pada orang yang lebih tinggi kata “Ida”. Kedetailan
bahasa Bali ini barangkali tidak bisa disamakan persis. Namun, karena
keterbatasan bahasa Bali, kedua kata bisa dibilang sama dalam pengertiannya.
Kesamaan
tersebut berangkat dari kata yang umum digunakan dalam kebudayaan masyarakat Bali
Aga. Hal ini mengingat orang Bali terkadang menciptakan bahasa-bahasa baru, dan
biasanya digunakan untuk kelompok tertentu. Maka, yang disepadankan diatas
adalah kata ganti yang seringkali digunakan masyarakat Bali Aga, bukan bahasa
“gaul” muncul pada trend-trend tertentu. Menyangkut kesepadanan diatas kalau
dilihat lebih jauh sebenarnya masih ada perbedaan yang sulit disepadankan. Kata
“Ko” memang bisa disepadankan dengan kata “ida, ipun”, tetapi kata yang kedua
ini memiliki kedetailan tersendiri. Kata “Ida” memiliki konteks tersendiri dan
kata “Ipun” memiliki konteks dan tersendiri. Sedangkan kalau kata “Ko” bisa masuk
keduanya.
2.6.2.
Konstruk Pemikiran
Bahasa dapat
mempengaruhi budaya. Apa yang dilakukan orang terkadang sangat dipengaruhi oleh
bahasa yang digunakan. Orang yang menggunakan bahasa “ko” misalnya pada tataran
kebiasaan keseharian akan membentuk suatu budaya bagaimana mengungkapkan kata
ganti kepada orang. Begitupun penggunaan kata ganti “ida, ipun” secara otomatis
akan membentuk kebiasaan tersendiri ketika menggunakanya kepada orang yang
tidak dikenal atau di lingkungan pendidikan.
Pengaruh
terhadap pemikiran seseorang terlihat ketika kata ganti bahasa Bali dan Bali
aga memiliki penggunaan pada konteks tertentu. Karena dalam kalangan masyarakat
Bali aga terbiasa ataupun dianjurkan menggunakan kata “ko” untuk menyebut kata
ganti tunggal, maka apa yang terdapat dalam pikiran orang adalah penggunaan “ko”
digunakan untuk kegiatan dikalangannya saja.
Dalam hal ini,
pemikiran orang tersebut mula-mulanya berangkat dari fakta bahasa. Adanya kata ganti “ida, ipun” konstruk
pemikiran seseorang akan mengarah pada batas usia sebagai sasaran pengungkapan
kata ganti tersebut. Dengan demikian, kata ganti tersebut juga tidak hanya
sekadar menujuk pada subjek yang diganti, melainkan juga berbicara mengenai
batas usia, kebiasaan, moral, wilayah, dan lainnya.
Karena itu lah
dalam makna dan hubungannya yang lebih kompleks, bahasa sangat mempengaruhi
budaya.
2.6.3.
Pengaruh Budaya
Kedua bahasa
tersebut memiliki tingkat kebudayaan tertentu. Setidaknya, budaya tersebut bisa
disederhanakan menjadi dua, yaitu kesopanan dan kekerabatan atau kedekatan.
c. Kesopanan
Kata ganti Bahasa Bali dan Bali Aga sebagaimana
dijelaskan diatas bisa disepadankan melalui tingkat kesopanan. Karena keduanya
membentuk suatu pola penggunaan bahasa untuk menunjuk kesopanan. Misalnya saja,
“Ko” lebih sopan dibandingkan dengan “Cai”.
Ini akan membentuk sebuah budaya masyarakat bahwa anda merupakan sebuah
penggunaan kata yang sopan. Begitu juga dalam bahasa Bali, ada tingkat
kesopanan dalam penggunaan kata ganti. Misalnya saja, kata “Ida dan Ipun” lebih
sopan ketimbang kata “iya, cai, nyai”. Pada level ini, bahasa Bali juga
membicarakan tentang batas usia, moral, dan kebiasaan. Ini lah kenapa bahasa
cukup mempengaruhi budaya.
d. Kekerabatan
Selain memiliki tingkat kesopanan, bahasa juga
memiliki makna kekerabatan. Ini bisa dijumpai dalam penggunaan kata ganti kedua
bahasa diatas. Dalam bahasa Bali Aga, kata “Ko” biasanya lebih mengarah pada
kekerabatan yang terdapat diantara sesama penduduk Bali aga. Sesama penduduk
Bali aga akan merasa asing ketika disebut dengan kata Ida/Ipun. Ini juga lebih
menajamkan rasa emosional antara keduanya.
Begitu juga dalam bahasa Bali, kata ganti yang
seringkali diungkapan oleh orang Bali juga menunjukkan unsur kekerabatan atau
kedekatan. Orang Bali ketika berbicara dengan orang yang belum dikenal, yang
notabene usianya sepadan, lebih menggunakan kata “Ida, dan Ipun”. Sedangkan
ketika sudah kenal secara dekat atau memiliki hubungan kerabat dekat, lebih
sering menggunakan kata “Iya atau Cai”.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
SIMPULAN
Dari
deskripsi diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa penggunaan bahasa Bali dan
Indonesia terdapat perbedaan ungkapan dan konteks, tetapi memiliki kesamaan
arti. Kesemua pembahasan diatas kiranya bisa disimpulkan sebagai berikut;
1. Kata
ganti bahasa Bali dan bahasa Bali Aga memiliki perbedaan dalam pengungkapan
2. Kata
ganti bahasa Bali dan bahasa Bali aga terdapat perbedaan pada kata “Aku”. Kata
ganti bahasa Bali lebih detail dalam konteks usia dan kesopanan, yaitu
“Titiang, Iyang, Icang ”. sedangkan Bahasa Bali aga hanya menggunakan kata
“Awak”
3. Kata ganti kedua bahasa tersebut membentuk
konstruk pemikiran seseorang tentang batas usia, wilayah, dan konteks sosial
yang dihadapi.
Kata ganti kedua bahasa
tersebut mempengaruhi budaya satu sama lain, terutama pada tingkat kesopanan
dan kekerabatan. Akan tetapi, bahasa Bali memiliki tingkat kesopanan dan
kekerabatan yang lebih detail ketimbang
bahasa Bali.
3.2.
SARAN
Dalam
pembacaan makalah ini hendaknya dapat memberikan sedikit tidaknya pengetahuan
tentang bali aga sehingga tidak mengasingkan dan terus melestarikan
keanekaragaman budaya bali.
Daftar Pustaka
Farikhatunnisak,Lisda.
2012. Realisasi Kata Ganti Orang Kedua
Tunggal Dalam Bahasa Jawa: Linguistika Akademia
Reshi,sri
anandakusuma,1986.kamus Bahasa Bali.____:CV.
Kayumas Agung
Tim penyusun
tata bahasa baku bali. 1996. Tata bahasa
baku bali. denpasar:pemerintah propinsi daerah tingkat I bali
Tinggen, I
Nengah.1986.sor singgih basa bali.Singaraja:Rhika
Dewata.
Tinggen, I
Nengah.2001.kosa Basa Sor Singgih Basa
Bali.Singaraja
Waridah,
Ernawati. 2010. EYD dan Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta : Kawan Pustaka.
______,_____2005.Pedonan umum ejaan bahasa bali dengan huruf latin:
balai bahasa denpasar pusatbahasa departemen pendidikan nasional